Amnesti Internasional Kutuk Tabiat Brutal Polisi AS yang Kerap Hadapi Unjuk Rasa Damai dengan Peralatan Perang

Share

POROS PERLAWANAN – Direktur Riset Kawasan Amerika Amnesti Internasional, Rachel Ward dalam statemennya, Minggu 31 Mei mengutuk aksi kekerasan Polisi AS.

Dilansir Fars, Rachel Ward dalam statemennya di situs Amnesti Internasional menulis, ”Polisi AS mengabaikan komitmen mereka terhadap aturan internasional untuk memudahkan dan menghormati hak unjuk rasa damai. Dengan ini, Polisi AS telah menimbulkan ketegangan dan membahayakan nyawa warga.”

“Dari satu kota ke kota lain, kita menyaksikan tindakan-tindakan keras yang tidak diperlukan. Kami menuntut agar penggunaan kekerasan seperti ini diakhiri, sehingga hak legal untuk mengajukan protes tetap terjaga.”

“Penggunaan alat-alat berat antikerusuhan dan senjata-senjata militer oleh Polisi bisa memicu ketakutan dalam unjuk rasa damai. Taktik semacam ini bisa berujung pada kekerasan. Ketika aparat diperlengkapi dengan perangkat yang lebih sesuai untuk medan perang, para pengunjuk rasa akan menyimpulkan bahwa bentrokan tak bisa dihindari. Sebelum situasi lebih memburuk, Polisi harus mengurangi ketegangan.”

“Tiap penggunaan kekerasan yang tak perlu atas pengunjuk rasa harus diinvestigasi. Aparat yang melanggar juga harus ditindak tegas. Kami meminta Otoritas Federal, kota, dan negara-negara bagian untuk menemukan sebab fundamental aksi protes ini. Mereka juga harus mengambil langkah cepat untuk menghentikan pembunuhan ilegal terhadap warga kulit hitam dan selain mereka oleh polisi.”

Ward menambahkan, kasus-kasus semacam ini bermula dari rasisme dan ide superioritas kulit putih. Menurutnya, Donald Trump juga mesti menghentikan kebijakan serta statemen diskriminatif dan kasarnya.

Hingga Minggu malam, AS telah dilanda gelombang unjuk rasa selama 6 malam berturut-turut.

Seiring unjuk rasa yang berakhir ricuh, Pemerintah AS menempatkan Garda Nasional di sejumlah negara bagian, serta memberlakukan jam malam. Hingga kini, sedikitnya 400 orang telah ditangkap, dan 5 orang lainnya tewas selama unjuk rasa berlangsung.

Bahkan para jurnalis pun tak luput dari kebrutalan Polisi AS. Mereka menjadi sasaran peluru plastik atau ditangkap aparat keamanan.

New York Times mengabarkan, Komite Reporter Kebebasan Media hingga kini telah menerima 10 laporan serangan dan ancaman terhadap jurnalis selama unjuk rasa.