Haniyeh, Teladan Riil bagi para Pejuang Abad 21

Share

POROS PERLAWANAN– Syahadah Ismail Abdussalam Ahmad Haniyeh, yang populer dengan nama Ismail Haniyeh dan berjuluk Abu al-Abd, adalah titik balik dalam sejarah para pejuang Palestina. Kelahirannya pada 23 Mei 1963 di kamp pengungsi al-Shati di Gaza bahkan juga terdampak oleh kezaliman Rezim Zionis.

Pria ini telah menghabiskan seluruh hidupnya dalam perjuangan. Ia membawa nyawa mulianya dari Gaza ke Teheran agar sejarah menyaksikan rute panjang yang ditempuhnya demi mewujudkan hak-hak bangsa tertindas Palestina.

Mari kita mengenal seorang pemimpin yang telah mencicipi segala bentuk kepahitan, mulai dari penjara, penyiksaan, pengasingan, hingga gugurnya anak, cucu, serta anggota keluarganya. Namun ia tidak pernah ragu dalam pendiriannya.

Telaaah atas kehidupan pria ini akan menerangi jalan bagi para pejuang abad 21. Sejarahnya menunjukkan Haniyeh sebagai seorang guru yang memiliki banyak hal untuk diajarkan, bukan hanya untuk Palestina dan Dunia Islam, tapi seluruh umat manusia.

Haniyeh bukan pemimpin Palestina pertama yang mengorbankan nyawa demi norma rakyatnya. Namun dalam kehidupannya selama 61 tahun terjadi berbagai peristiwa besar yang mengabadikan namanya dalam sejarah. Haniyeh telah merasakan segala bentuk derita yang bisa menimpa seorang pejuang dan pemimpin politik. Namun ia tak sedikit pun surut langkah, bahkan melanjutkan jalannya dengan tekad lebih kuat.

Selama bertahun-tahun, mesin propaganda Rezim Zionis melalui para anteknya di Kawasan dan dunia menghabiskan jutaan Dolar untuk mencemarkan nama Haniyeh. Pengumbaran fitnah, seperti menghimpun harta dengan cara menyelundupkan barang via terowongan dari Mesir ke Gaza, adalah permainan kotor media untuk mendiskreditkan dirinya. Namun karena Haniyeh dan keluarga besarnya selalu hidup seperti warga biasa Gaza, tak satu pun fitnah-fitnah ini mampu mereduksi kecintaan terhadapnya.

Bahkan sebelum dilahirkan, Haniyeh telah mewarisi derita besar; derita yang berpangkal dari peristiwa-peristiwa pahit usai Perang Dunia II, dideklarasikannya entitas bernama Israel, dan dimulainya kisah panjang pengasingan, pengusiran, penyiksaan, dan pengabaian hak-hak bangsa Palestina.

Keluarga Haniyeh diusir paksa dari desa Jaurah di Askelon, negeri nenek moyangnya. Dia lahir di kamp pengungsi, sama seperti ratusan bahkan ribuan anak di masa itu. Kehidupan Haniyeh selama 61 tahun adalah sebuah pertempuran panjang antara Palestina dan Zionis. Tidak diragukan bahwa titik baliknya adalah Operasi Badai al-Aqsa, yang telah menggoyahkan seluruh struktur Zionisme.

Bahkan para analis Yahudi sekarang mengakui, Rezim Zionis tidak bakal bisa memiliki kekuatan serupa dengan era sebelum Badai al-Aqsa. Di sinilah kita melihat urgensi historis syahadah Haniyeh dan rekan-rekan seperjuangannya. Orang yang telah menghabiskan hidupnya sejak lahir di kamp pengungsi hingga menginjak usia 61 untuk berjuang, tidak selayaknya mendapatkan balasan lebih rendah dari syahadah.