Israel Hancurkan Gaza dan Lebanon Demi Sembunyikan 7 Kegagalannya

Share

POROS PERLAWANAN-Dilansir Mehr, al-Jazeera dalam laporannya membahas kegagalan-kegagalan strategis Israel di Gaza. Menurut al-Jazeera, Badai al-Aqsa telah menimbulkan kegagalan besar di sektor politik, ekonomi, dan keamanan Rezim Zionis.

Berikut ini adalah 7 indeks kegagalan Rezim Zionis yang diakibatkan Badai al-Aqsa

1. Hilangnya Legitimasi Internasional

Legitimasi internasional Rezim Zionis lenyap setelah berlalunya satu tahun sejak Operasi Badai al-Aqsa. Berbagai kejahatan Israel di Gaza memicu banyak kecaman dari lembaga-lembaga internasional dan publik umum terhadap Tel Aviv. Hal ini memiliki dampak jangka panjang bagi Rezim Zionis.

Berbagai unjuk rasa anti-Zionis berlangsung di kota-kota dunia. Banyak pengunjuk rasa yang menuntut Barat menghentikan dukungan militer dan teknologi kepada Israel. Para mahasiswa di berbagai universitas AS juga menyerukan embargo atas Israel dan pemutusan kerja sama ilmiah dengannya.

Yang menarik adalah, banyak dari universitas-universitas tersebut sebelum perang Gaza sangat memihak Israel. Berdasarkan jajak pendapat Universitas Harvard, yang dipublikasikan Jerusalem Post pada 17 Desember tahun silam, lebih dari separuh pemuda yang ikut dalam jajak pendapat ini berpendapat, lenyapnya Israel dan diserahkannya kedaulatan Palestina kepada Hamas dan rakyat Palestina adalah satu-satunya solusi jangka panjang untuk mengakhiri konflik.

2. Pemutusan Kerja Sama Militer

Kebencian publik terhadap Israel berpengaruh dalam sikap sejumlah negara terhadap perang di Gaza, sehingga membuat mereka mengurangi level kerja sama militer dengan Tel Aviv. Sebagai contoh, sebuah pengadilan di Belanda pada Februari lalu meminta negara itu menghentikan penjualan komponen jet F-35 kepada Israel. Belgia juga memberlakukan pembatasan dalam transaksi persenjataannya dengan Rezim Zionis.

Pelabuhan Madrid pada Mei lalu mengumumkan, kapal-kapal pengangkut senjata untuk Israel dilarang merapat di pesisir dan pelabuhan-pelabuhan Spanyol.

3. Kecaman di Forum-forum Internasional

Berlanjutnya kejahatan Rezim Zionis di Gaza membuatnya dianggap sebagai entitas pembangkang yang mengabaikan resolusi dan piagam-piagam internasional.

Berbagai resolusi telah diputuskan di Dewan Keamanan PBB dan lembaga internasional seperti Mahkamah Pidana Internasional. Namun keputusan-keputusan itu dikritik lantaran tidak bersifat mengikat.

4. Kesenjangan Domestik

Agresi ke Gaza dan Lebanon memperdalam kekisruhan politik-sosial di internal Rezim Zionis, terutama berkaitan dengan para tawanan Israel yang diabaikan oleh Benyamin Netanyahu.

Nasib para pemukim Zionis di perbatasan utara dan selatan, serta masalah wajib militer bagi kelompok ortodoks Haredi adalah isu-isu lain yang memanaskan perselisihan domestik Israel.

5. Melambatnya Proses Normalisasi

Badai al-Aqsa menyebabkan proses normalisasi melambat di kancah regional. Saudi mengumumkan, normalisasi Riyadh-Tel Aviv ditangguhkan sampai Israel menyetujui Solusi Dua Negara. UEA juga membantah klaim Tel Aviv bahwa Abu Dhabi bersedia membiayai rekonstruksi Gaza.

Mesir juga menolak proyek Israel terkait imigrasi paksa warga Gaza ke Gurun Sina. Kairo juga menentang kontrol Israel atas koridor Philadelphia dan Rafah.

6. Celah Tembok Keamanan Israel

Operasi Badai al-Aqsa menunjukkan bahwa tembok keamanan Israel, yang dikesankan “tangguh dan tak tertembus”, ternyata bisa diterobos. Perang di Gaza telah menyebabkan Israel menderita kerugian jiwa, luka, cacat, dan telantarnya para pemukim. Namun Tel Aviv masih berusaha merahasiakan kerugian-kerugian tersebut.

Berdasarkan statistik dari Akademi Riset Keamanan Domestik Israel pada 7 Oktober 2024, dalam tempo satu tahun ini sebanyak 1.697 serdadu dan perwira Israel tewas, sementara sekitar 5 ribu lainnya terluka. Sebanyak 695 dari mereka dikabarkan dalam kondisi berbahaya.

Jumlah warga sipil yang terluka mencapai angka 19 ribu orang, sementara para pemukim yang terusir dari kawasan utara dan selatan berjumlah 143 ribu orang.

7. Besarnya Biaya Dukungan untuk Israel

Selama setahun terakhir, nilai dukungan untuk Israel dari para pendukung tradisionalnya, terutama AS, menjadi semakin besar. Ini menyebabkan kontradiksi prioritas negara-negara tersebut dengan prioritas Tel Aviv. Hal ini membuat mereka merasa bahwa alih-alih menjadi sekutu dan instrumen pengaruh mereka di Kawasan, Israel malah menjadi “beban berat” bagi mereka.