Saran dari Raja Faisal yang Harus Disimak Bin Salman

Share

POROS PERLAWANAN – Raja Saudi di masa Perang Yaman pada dekade 60, Faisal bin Abdulaziz Al Saud mampu menyelamatkan negaranya dari terbenam lebih dalam di rawa perang.

“Kami hanya menginginkan satu hal, yaitu kami dan saudara-saudara Mesir kami mundur dari Yaman. Kita biarkan saudara-saudara Yaman kita mengurus dan menyelesaikan masalah mereka serta menentukan nasib mereka sendiri, tanpa campur tangan apa pun dari kami atau saudara-saudara Mesir kami, atau pihak mana pun. Itulah satu-satunya yang kami inginkan.”

Dilansir al-Alam, ini adalah ucapan Raja Faisal yang disampaikan di hadapan para jemaah haji di Makkah.

Apa yang disampaikan Raja Faisal di Makkah juga diutarakannya kembali secara lebih rinci dalam wawancara dengan jurnalis Lebanon, Adil Malik, yang dipublikasikan pada awal September 1964 di harian al-Nahar.

Dalam pertemuan tersebut, Malik bertanya, ”Setelah berlalunya 2 tahun dari awal perang Yaman dan dampak-dampaknya yang berbahaya, bagaimana sikap Anda dan apa solusi untuk itu menurut Anda?”

“Perang Yaman hanya untuk orang-orang Yaman. Solusinya juga ada d tangan kelompok-kelompok Yaman yang berseteru. Apa hubungan masalah ini dengan kami? Sudah saya katakan berkali-kali, dan saya katakan lagi hari ini, solusi untuk krisis ini adalah keluarnya semua tentara asing dari Yaman dan membiarkan rakyat Yaman menentukan nasib mereka sendiri. Jika mereka menginginkan Republik, silakan. Jika mereka menghendaki kerajaan, silakan,” jawab Raja Faisal.

Dalam wawancara itu, ia menyinggung jumlah korban perang dan berkata, ”Dua ratus ribu orang Yaman, baik dari pihak prokerajaan atau prorepublik, baik wanita, pria, atau anak-anak, ditambah 20 ribu serdadu Mesir telah terbunuh di perang Yaman. Apa hasil dari semua perseteruan ini? Apakah Yaman bebas? Andai saja darah-darah ini tertumpah di pangkuan Tel Aviv.”

Di sini kami berusaha menjelaskan sikap Raja Faisal tentang perang Yaman yang berlangsung sejak 1962 hingga 1970. Dalam perang ini, Mesir memihak kelompok prorepublik, sedangkan Saudi mendukung pihak prokerajaan.

Hal yang perlu dicamkan di sini adalah, Raja Faisal lebih cerdas dari keponakannya, Muhammad bin Salman. Ketika perang “baru” berkecamuk selama 2 tahun saja, Raja Faisal langsung memahami bahwa negaranya terjebak di Yaman. Ia berulang kali meminta agar negaranya tidak campur tangan dan menyerahkan nasib Yaman kepada rakyatnya sendiri.

Dengan tindakan ini, Raja Faisal mampu menghindarkan Saudi dari terperosok lebih dalam di rawa perang Yaman. Di lain pihak, meski perang sia-sia atas Yaman sudah berlangsung 8 tahun dan negara itu berada di ambang bencana kemanusiaan terbesar masa ini, Bin Salman masih bersikeras untuk meneruskan perang. Semua tahu bahwa dia bertaruh pada kuda pecundang.

Yang jelas, Bin Salman tidak punya pengalaman kenegaraan atau memimpin perang. Bahkan mungkin tidak tahu sejarah negaranya sendiri.

Ada baiknya di sini kita mengutip kembali sebagian dari statemen pamannya, dengan harapan dia melihat masalah apa adanya, bukan seperti yang diilustrasikan oleh kecongkakannya.

Di akhir wawancara, Malik meminta Raja Faisal untuk mengutarakan harapannya bagi Yaman. Dia lalu berkata, ”Saya secara tulus berharap agar kita bisa menghapus kebencian dari hati-hati, tanpa konspirasi terhadap satu sama lain, dan mengarahkan upaya kita kepada musuh sebenarnya.”