Washington Post: Gencarkan Kebijakan Supresif, Bin Salman Berupaya ‘Rebut Takhta’ Ayahnya Tahun ini

Share

POROS PERLAWANAN – Kolumnis Washington Post, David Ignatius, dalam artikelnya menulis, meningkatnya kebijakan supresif (bersifat menindas) Putra Mahkota Saudi bisa menjadi pertanda bahwa ia berniat naik takhta tahun ini.

Dilansir Fars, Ignatius menyatakan, pembatasan perjalanan luar negeri yang diberlakukan Muhammad bin Salman adalah alat untuk mengintimidasi orang-orang yang dianggap sebagai ancaman politisnya.

Ignatius mengutip pernyataan dari Khaled al-Jabri, dokter Saudi yang tinggal di Toronto, Kanada. Menurut al-Jabri, Bin Salman menggunakan “penyanderaan sebagai sarana untuk melanggengkan kekuasaannya.” Ia bercerita, sejak Bin Salman menjadi Putra Mahkota di tahun 2017, para keponakannya dilarang pergi ke luar negeri demi menekan ayah-ayah mereka.

Menurut Ignatius, hasil riset menunjukkan bahwa pembatasan perjalanan ke luar negeri jauh lebih luas dari apa yang dibayangkan publik. Pada hakikatnya, ini adalah bagian dari sebuah sistem supresif yang terorganisasi di Saudi.

Bin Salman menggunakan sarana ini untuk meneguhkan kekuasaannya. Sejumlah pejabat AS bahkan meyakini, ada kemungkinan Bin Salman dengan cara ini berusaha mengambil alih kendali pemerintahan dari tangan ayahnya yang sakit-sakitan tahun ini.

Berdasarkan statemen para analis AS dan Saudi, tulis Ignatius, jumlah orang yang dicekal untuk pergi ke luar negeri mencapai ribuan. Biasanya, orang-orang ini baru tahu mereka dicekal saat tiba di bandara. Mereka juga tidak diberi penjelasan resmi atau surat pemberitahuan. Bin Salman berdalih, aturan pembatasan perjalanan ke luar negeri ini adalah upaya untuk memerangi korupsi di Saudi.

Daftar orang-orang yang dicekal ini dimulai dari anggota keluarga Abdullah bin Abdul Aziz, Raja Saudi terdahulu yang kematiannya di tahun 2015 menyulut “Game of Thrones” ala Saudi hingga sekarang. Saat ini, 27 anak dan 52 hingga 57 cucu Abdullah dilarang bepergian ke luar negeri. Empat putra sulung Abdullah juga berada di penjara atau tahanan rumah sejak 2017 atas tuduhan korupsi.

Di akhir tulisannya, Ignatius menyatakan, penyanderaan anggota keluarga yang tak bersalah demi memaksa mereka bekerja sama dengan Pemerintah, adalah salah satu karakteristik rezim paling kejam dalam sejarah. Seiring percepatan mesin tindak supresif di Saudi, hal ini akan menjadi bagian dari standar Pemerintahan Bin Salman.