Pengawasan FATF di Lebanon: Gunakan Kedok Anti Pencucian Uang Demi Memata-matai Hizbullah dan Melayani Kepentingan AS-Israel
POROS PERLAWANAN – Financial Action Task Force (FATF), sebagai lembaga internasional yang mengawasi upaya anti pencucian uang dan pencegahan pendanaan terorisme, semakin menunjukkan perannya yang signifikan dalam memengaruhi kebijakan keuangan dan politik negara-negara yang dianggap memiliki risiko keamanan tinggi. Dalam kasus Lebanon, pengawasan FATF bahkan tampak memiliki keterkaitan politik, terutama terhadap kelompok Hizbullah.
Bagaimana keterlibatan FATF ini terjadi, dan apakah pengawasan serupa memiliki dampak terhadap negara lain seperti Indonesia?
Artikel ini mencoba menguraikan pengaruh FATF di Lebanon, membandingkannya dengan konteks Indonesia, serta meninjau lebih jauh dampaknya dalam geopolitik global.
Pengawasan FATF di Lebanon: Antara Anti-Terorisme dan Kepentingan Politik
Menurut pakar ekonomi, Masoud Barati, dalam sebuah artikel berbahasa Persia berjudul “Jasosi-e Amrika wa Israel alaih-e Hezbollah dar Pushesh-e FATF” di situs Jahannews, Lebanon telah dimasukkan ke dalam “daftar abu-abu” FATF. Hal ini menunjukkan bahwa Lebanon berada di bawah pengawasan intensif dan diwajibkan untuk melaksanakan serangkaian rencana aksi yang ditetapkan oleh FATF. Salah satu fokus utama dari pengawasan ini adalah peninjauan aliran dana yang diduga terkait dengan pendanaan kelompok-kelompok terorisme, yang dalam konteks Lebanon dimaksudkan untuk menyasar Hizbullah.
Dalam laporan Mutual Evaluation Report (MER) terbaru dari FATF, Lebanon diinstruksikan untuk melakukan investigasi pendanaan yang terkait kelompok milisi besar yang memiliki keterkaitan dengan aktivitas yang dikategorikan sebagai terorisme internasional. Laporan ini, terutama di bagian rencana aksi pada halaman 95, secara eksplisit menyebutkan bahwa Lebanon harus berbagi informasi investigatif tersebut dengan mitra asing. Hal ini dinilai sebagai langkah tekanan politik, terutama karena Hizbullah adalah aktor politik besar di Lebanon yang sering berselisih dengan Amerika Serikat dan sekutu-sekutunya di Timur Tengah.
FATF mengeklaim bahwa pengawasan ini diperlukan demi keamanan global dan stabilitas keuangan internasional. Namun, menurut beberapa analis, langkah tersebut lebih jauh dari sekadar pengawasan keuangan, melainkan bagian dari agenda strategis yang menyasar Kelompok-kelompok Perlawanan yang berlawanan dengan kepentingan negara-negara besar.
Relevansi dan Konteks Pengawasan FATF di Indonesia
Berbeda dengan Lebanon, Indonesia belum menerima tekanan yang spesifik untuk mengawasi atau membatasi kelompok-kelompok tertentu seperti Hizbullah. Namun, sebagai anggota FATF sejak 2023, Indonesia tetap berada di bawah pengawasan dan diharuskan memenuhi standar internasional untuk mencegah pendanaan terorisme dan pencucian uang. Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) dan beberapa lembaga terkait di Indonesia sudah bekerja sama dengan FATF untuk memperkuat regulasi di sektor keuangan, khususnya dalam mengawasi aliran dana yang berisiko terkait jaringan ekstremis lokal dan regional seperti Jemaah Islamiyah dan ISIS.
Meskipun pengawasan ini berfokus pada risiko keamanan secara umum, keterlibatan Indonesia dalam FATF memberi peluang bagi negara-negara lain untuk turut menyoroti aktivitas finansial yang mungkin dianggap mengancam kepentingan mereka. Namun, berbeda dengan Lebanon, Indonesia sejauh ini tidak terlibat dalam konflik politik global yang intens, sehingga pengawasan FATF cenderung bersifat teknis tanpa tekanan politik untuk menargetkan kelompok atau komunitas agama tertentu.
Dinamika Global FATF dan Potensi Dampaknya bagi Negara Berkembang
Pengawasan FATF, seperti terlihat dalam kasus Lebanon, tidak hanya bersifat teknis, tetapi juga bisa menjadi alat diplomasi internasional yang menyasar kelompok atau aktor politik tertentu. Pengawasan ketat terhadap keuangan Lebanon, khususnya yang berkaitan dengan Hizbullah, mencerminkan potensi FATF sebagai instrumen kebijakan luar negeri bagi negara-negara besar. Dalam situasi tertentu, FATF dapat memengaruhi kebijakan nasional negara-negara yang berada dalam pengawasannya, baik melalui tekanan untuk mematuhi standar keuangan maupun melalui agenda keamanan yang lebih luas.
Kasus Iran dan Venezuela adalah contoh lainnya ketika FATF digunakan sebagai alat untuk memengaruhi kebijakan domestik negara-negara tersebut dalam isu-isu keuangan yang sensitif. Dalam konteks ini, negara-negara berkembang, termasuk Indonesia, perlu memperhatikan bagaimana FATF dapat memengaruhi kebijakan keuangan dan politik domestik mereka.
Walaupun saat ini pengawasan FATF di Indonesia cenderung netral, risiko adanya tekanan politik di masa depan tidak bisa dikesampingkan, terutama jika muncul ketegangan baru di kawasan Asia Tenggara yang berkaitan dengan kepentingan strategis negara-negara besar.
Kesimpulan
Penempatan Lebanon dalam daftar abu-abu oleh FATF dan tekanan yang dialami untuk menyelidiki Hizbullah menunjukkan bahwa pengawasan keuangan FATF bisa melampaui standar teknis dan berpotensi digunakan untuk kepentingan politik. Pengalaman ini menjadi pelajaran penting bagi negara-negara lain, termasuk Indonesia, mengenai cara kerja FATF dalam mengontrol aliran dana dan mendikte kebijakan keuangan nasional.
Indonesia, sebagai anggota FATF, diharapkan dapat mengambil langkah bijak dalam memenuhi standar keuangan global tanpa mengorbankan kedaulatan atau kepentingan politik domestik.
FATF sejatinya dapat menjadi instrumen yang bermanfaat untuk menjaga keamanan finansial global, namun dalam praktiknya dapat beralih menjadi alat tekanan politik internasional yang menyasar kelompok tertentu. Maka dari itu, Indonesia dan negara-negara berkembang lainnya perlu tetap waspada terhadap dampak potensial ini dan memperkuat kebijakan nasional yang seimbang antara kepatuhan terhadap standar internasional dan perlindungan kedaulatan negara. [PP/MT]
Rujukan:
– https://www.fatf-gafi.org/en/publications/Mutualevaluations/Lebanon-MER-2023.html
– https://www.fatf-gafi.org/en/publications/Mutualevaluations/MER-Indonesia-2023.html