Sejarawan Noam Chomsky: Harus Diakui, AS adalah Dedengkot dan Pasukan Teroris Terbesar di Dunia

Share

POROS PERLAWANAN – Dilansir Fars, filsuf dan sejarawan AS, Noam Chomsky dalam sebuah wawancara menyebut negaranya sebagai pemimpin semua negara teroris.

Saat diwawancarai Russia Today, Chomsky mengatakan bahwa media-media AS mendoktrin warga negara tersebut bahwa “semua hal di AS adalah luar biasa”.

Ia berkata, AS ingin menunjukkan bahwa dirinya memihak “pasukan kebaikan” dan selalu berusaha menebus segala kesalahannya. Namun, realita yang dikarang oleh neoliberal ini tidak didasari fakta.

“Versi mayoritas adalah bahwa serangan ke Kongres menunjukkan kekuatan demokrasi di AS, karena kami tidak lantas menurun menjadi negara fasis. Insiden ini membuat kami mampu menunjukkan bahwa demokrasi di AS bisa menang. Namun di masa skandal Watergate pun kita melihat klaim-klaim kemenangan semacam ini,” kata Chomsky.

“Faktanya, ada penyakit-penyakit serius (di AS) yang tidak dibicarakan oleh kedua partai. Hal ini menyebabkan faktor-faktor serangan ke Kongres tidak bisa dijelaskan.”

“Orang-orang bicara tentang para ‘berandal perusuh’ itu seolah mereka datang dari negeri antah berantah. Namun mereka tidak datang dari antah berantah,” tandasnya.

“AS adalah salah satu pasukan teroris terbesar di dunia. Konsep terorisme di awal masa (Ronald) Reagan diputarbalikkan. Dengan kata lain, teroris tidak disebut teroris, sementara yang bukan teroris dianggap teroris.”

“Berdasarkan definisi kami, tindakan-tindakan Pemerintah Reagan adalah puncak terorisme. Pengadilan Dunia pun memiliki kesimpulan serupa. AS adalah satu-satunya negara yang diadili di Pengadilan Dunia atas terorisme internasional,” papar Chomsky.

Adapun yang dimaksud Chomsky adalah diadilinya AS di Mahkamah Internasional pada tahun 1986, menyusul dukungan Washington untuk para milisi Nikaragua. Mahkamah ini menyatakan AS telah melanggar hukum internasional dan hak kedaulatan Nikaragua.

Beberapa waktu lalu, Pengadilan Pidana Internasional Den Haag juga tengah menyelidiki kejahatan perang AS di Afghanistan dan Irak. Namun Pemerintahan Trump menjatuhkan sanksi kepada para hakim Den Haag dan menuntut agar penyelidikan dihentikan.