Suriah Berkukuh Gelar Pilpres Meski Ditentang Massif Pihak Asing dengan Propaganda Negatif

Share

POROS PERLAWANAN – Pilpres Suriah akan diadakan pada 25 Mei mendatang. Baik Pemerintah maupun rakyat Suriah tidak sudi menerima syarat-syarat paksaan dari asing terkait bentuk penyelenggaraan Pilpres tersebut.

Dilansir al-Alam, negara-negara di dunia menunjukkan beragam reaksi terhadap rencana penyelenggaraan Pilpres Suriah. Sebagian negara menentangnya secara total. Sebagian negara lain setuju asal Bashar Assad tidak mencalonkan diri. Kelompok ketiga menyatakan bahwa penyelenggaraan Pilpres bergantung pada penyusunan UUD baru terlebih dahulu.

Kelompok keempat menjadikan keluarnya Iran dan Hizbullah dari Suriah sebagai prasyarat dukungan mereka untuk Pilpres. Sementara yang lain lagi, baru akan mendukung Pilpres jika Suriah keluar dari Poros Perlawanan. Dan terakhir, beberapa negara, seperti Iran, menyambut hangat tuntutan nasional rakyat Suriah untuk menggunakan hak partisipasi dalam menentukan nasib negara mereka.

Selama berlangsungnya 10 tahun perang di medan tempur, hubungan antara Pemerintah dan rakyat Suriah telah menguat dan mengakar. Keterikatan ini telah membuat musuh putus asa untuk mengintervensi urusan domestik Suriah.

Segala bentuk rintangan yang diciptakan musuh Suriah tidak membuahkan hasil. Mulai dari pemberlakuan UU Caesar, penentangan terhadap dibentuknya Konferensi Pemulangan Pengungsi, hingga tudingan bahwa Pemerintah Damaskus menggunakan senjata-senjata tak lazim untuk membunuh rakyatnya.

Dalam situasi seperti ini, kita melihat bahwa negara-negara seperti Saudi berlomba-lomba untuk memulihkan hubungan dengan Pemerintah Suriah. Jelas bahwa hal semacam ini mustahil terjadi tanpa adanya ikatan erat Pemerintah dan rakyat selama satu dekade terakhir.

Dalam tahap terakhir skenario Arab-Ibrani-Barat untuk menggagalkan Pilpres Suriah, aliansi ini berusaha mengesankan Pilpres sebagai sekadar “formalitas” belaka, dengan tujuan membuat rakyat Suriah pesimis hingga tidak berpartisipasi dalam Pilpres tersebut.

Skenario ini mempropagandakan dan memfokuskan pada “sedikitnya jumlah kandidat yang layak untuk menjadi Presiden Suriah”. Padahal berdasarkan UUD Suriah, orang-orang yang bisa mengajukan diri sebagai kandidat adalah mereka yang meraih persetujuan dari minimal 35 anggota Parlemen. Selain itu, mereka juga sudah menetap di Suriah selama 10 tahun berturut-turut.

Jelas bahwa dengan adanya syarat-syarat ini, mereka yang meninggalkan Suriah saat dilanda krisis demi mencari kenyamanan, bahkan bersekongkol dengan musuh-musuh bangsa, tidak akan mendapat kepercayaan dari rakyat dan Pemerintah Suriah. Dengan demikian, mereka tidak punya kelayakan untuk menjadi Kepala Negara.