Loading

Ketik untuk mencari

Opini

Buntut Kebergantungan Finansial pada UEA dan Saudi, Rezim Diktator Mesir Mulai Perangi Agama dengan Dalih Basmi Radikalisme

Buntut Kebergantungan Finansial pada UEA dan Saudi, Rezim Diktator Mesir Mulai Perangi Agama dengan Dalih Basmi Radikalisme

POROS PERLAWANAN – Sebagian Rezim Arab berupaya menggulirkan sebuah gagasan kotor dan berbahaya. Gagasan itu berbunyi: ”Jika kita ingin memerangi radikalisme di tengah masyarakat Muslim, kita mesti menghapus Alquran dan hadis Nabi Saw serta ajaran Islam dari kurikulum sekolah, sehingga kita bisa mendidik generasi yang jauh dari radikalisme”.

Dilansir al-Alam, salah satu rezim yang mulai memopulerkan gagasan keliru ini adalah Pemerintah Mesir. Wakil Menteri Pendidikan Mesir, Ridha Hijazi mengumumkan bahwa Presiden Mesir Abdel Fattah el-Sisi menginstruksikan agar ayat Alquran dan hadis Nabi Saw dihapus dari pelajaran Bahasa Arab dan sejarah, serta dibatasi hanya untuk pelajaran agama saja.

Menariknya adalah, gagasan ini disambut baik oleh anggota Komisi Pertahanan dan Keamanan Nasional Parlemen Mesir, Faridi al-Bayadhi. Menurutnya, muatan keagamaan di mata pelajaran Bahasa Arab, sejarah, dan geografi adalah bahaya besar.

Ia mengklaim, hal ini akan mendorong guru-guru nonspesialis untuk menyampaikan interpretasi radikal dan destruktif dari pelajaran-pelajaran tersebut.

Kementerian Pendidikan Mesir dikabarkan menerima usulan salah satu anggota Parlemen soal pembelajaran materi baru, yang berisi norma-norma gabungan antara Islam, Kristen, dan Yahudi, juga prinsip kehidupan harmonis.

Di sini kami tak akan membahas hubungan Komisi Pertahanan dan Keamanan Nasional parlemen Mesir dengan kurikulum pelajaran. Topik pembahasan adalah bahwa sebagaimana ditegaskan dalam UUD Mesir, Islam merupakan agama resmi negara tersebut. Sebab itu, Pemerintah mesti mengagendakan pembelajaran nilai-nilai Islam dari sumber-sumber validnya. Seperti halnya di negara-negara lain, warga Mesir pun berhak mempelajari masalah-masalah keagamaan di sekolah-sekolah.

Jelas bahwa mereka yang menyebut Alquran dan hadis Nabi Saw sebagai sumber radikalisme di tengah masyarakat Mesir, tahu benar bahwa ajaran penuh kasih Islam sama sekali tak berkaitan dengan munculnya fenomena radikalisme di negara tersebut.

Klaim ini tak lebih dari upaya untuk mengangkat beban tanggung jawab dari pundak para pejabat Mesir. Fenomena radikalisme adalah buah dari kerusakan politik, ekonomi, dan etika rezim-rezim yang telah mengubah Mesir. Mesir yang dahulu merupakan pusat kecemerlangan pikiran dan budaya Arab-Islam, kini telah berkarat oleh korupsi, kemiskinan, dan kesenjangan sosial.

Mesir, yang dahulu dikenal sebagai “Ibu Dunia”, sekarang membutuhkan bantuan negara-negara seperti UEA dan Saudi. Bantuan-bantuan itu pun biasanya bersyarat. Salah satunya adalah Kairo mesti mendukung kebijakan-kebijakan agresif Riyadh dan Abu Dhabi di Kawasan, termasuk agresi ke Yaman.

Kemiskinan dan runtuhnya norma-norma sosial Mesir diakibatkan kinerja Pemerintah-pemerintah Mesir, yang bermula dari masa kekuasaan Anwar Sadat dan kebijakan “Pintu Terbuka” sejak dekade 70-an dan berlanjut hingga kini. Hal inilah, dan bukan Alquran dan hadis, yang telah mendorong sebagian rakyat Mesir menuju radikalisme, sebagai respons terhadap kondisi kehidupan mereka serta keserakahan para penguasa Mesir.

Mengosongkan materi pelajaran dari ajaran Alquran dan hadis tidak akan bisa melenyapkan radikalisme, bahkan justru akan memperluasnya. Hal ini akan menyebabkan terdidiknya generasi lapar dan miskin, yang jauh dari norma insani. Inilah tujuan sebenarnya dari rezim diktator yang memerangi agama dengan dalih pembasmian radikalisme.

Tags:

Tinggalkan Komentar

Your email address will not be published. Required fields are marked *