Pengunduran Diri Diab, Bukti Nyata Kuatnya Intervensi dan Konspirasi Barat di Kancah Politik Lebanon

Share

POROS PERLAWANAN – Dilansir Tasnim, Pemerintahan Hassan Diab dibentuk pada pertengahan Januari lalu, menyusul pertikaian dan kosongnya kekuasaan selama berbulan-bulan di Lebanon, juga digulirkan sejumlah opsi untuk pos Perdana Menteri.

Sejak awal, Pemerintahan Diab telah dimusuhi AS, Barat, dan Arab, mengingat bahwa sebagian kelompok domestik menolak bergabung dan Hizbullah serta sekutunya memiliki wakil dalam Kabinet. Bahkan, media-media pro-Barat selalu mengklaim bahwa Pemerintahan Diab adalah “Pemerintahan Hizbullah”.

Pemerintahan Diab dibentuk di atas reruntuhan akibat ekonomi Lebanon yang porak poranda. Diab menghadapi tumpukan kasus yang belum terselesaikan. Berbagai problem fundamental, terutama pandemi Corona dan berlanjutnya unjuk rasa terhadap Pemerintah tanpa memberi waktu yang memadai untuk mengatasinya, telah mereduksi kinerja Pemerintahan Diab hingga batas minimal.

Dalam situasi ini, AS terus menekan Lebanon melalui sederet sanksi. Sistem perbankan Lebanon juga diacak-acak oleh Direktur Umum Bank Pusat Riyadh, Salamah. Upaya Diab untuk menyingkirkan Salamah digagalkan oleh intervensi AS.

Salah satu contoh tekanan ekonomi AS atas Pemerintahan Diab adalah keengganan IMF untuk memberikan pinjaman ke Beirut. Agar pinjaman bisa dicairkan, Beirut mesti memenuhi sejumlah syarat politik yang tidak rasional. Menurut para pakar, syarat-syarat ini merupakan intervensi nyata IMF dalam urusan internal Lebanon.

Kondisi kian parah dengan dibloknya aset emas Lebanon di New York. Jelas bahwa tujuan utamanya adalah mempersulit upaya Diab untuk menjalankan proyek ekonomi, juga agar dia menarik dukungan atas kehadiran Hizbullah dalam struktur Kabinet. Laporan-laporan juga membuktikan peran Kedubes AS dalam gelombang unjuk rasa terbaru di Lebanon.

Puncak intervensi Barat dan upaya sejumlah kelompok domestik untuk menggulingkan Pemerintahan Diab bisa disaksikan dalam perkembangan pasca ledakan Beirut. Ledakan ini, yang disebabkan oleh akumulasi dari buruknya manajemen Pemerintah-pemerintah Lebanon dari 2014 hingga kini, menjadikan Pemerintahan Diab sebagai sasaran tembak.

Mereka yang semestinya disalahkan, kini justru balik menyalahkan Pemerintah saat ini. Mereka tidak menjawab bagaimana nitrat amonium dalam jumlah banyak ini bisa ditimbun di pelabuhan Beirut? Ketika Kementerian Hukum pada tahun 2015 telah mengizinkan bahan berbahaya ini dipindahkan, kenapa pemerintah-pemerintah lalu tidak mengosongkan gudang dari muatan mencurigakan ini?

Jika Pemerintahan Diab saja kesulitan menangani dampak dari tragedi Beirut, bagaimana jadinya jika terjadi kekosongan kekuasaan? Meski Tentara Lebanon relatif bisa mengendalikan situasi keamanan, tapi apakah Tentara sanggup menangani situasi ekonomi dan sosial rakyat Lebanon saat ini?

Meski konferensi internasional yang digagas Prancis disebut-sebut telah menghimpun dana sebesar 250 juta Euro untuk Lebanon, namun masih ada jalan panjang antara janji-janji yang diumbar di konferensi dan pelaksanaannya.

Pemerintah AS sendiri langsung berkoar bahwa dana ini harus disimpan PBB. Bisa dipastikan bahwa prasyarat AS agar dana ini bisa disimpan di Lebanon adalah “ketidakhadiran Hizbullah dan sekutunya di pemerintahan mendatang”.

Bisa diprediksi bahwa dana bantuan untuk Lebanon ini akan bernasib seperti bantuan yang dikumpulkan dalam konferensi Sharm al-Sheikh tahun 2014, menyusul agresi biadab Israel ke Gaza. Saat itu, bantuan akan dikucurkan dengan syarat senjata Hamas dilucuti; syarat yang tentu saja ditolak oleh rakyat pejuang Gaza.