Presiden Kuba: Pemimpin Tertinggi Iran Bijak dan Miliki Daya Analisis Mengagumkan

Share

POROS PERLAWANAN – Dalam wawancara yang dilakukan Direktur al-Mayadeen, Ghassan bin Jiddo dengan Miguel Diaz Canel, Presiden Kuba itu menyebut hubungan negaranya dengan Iran sebagai “hubungan bersejarah berasaskan penghormatan timbal-balik”.

Diberitakan Fars, Canel dalam wawancara tersebut bicara soal beragam isu terkait perkembangan internasional. Dalam bagian terkait hubungan Havana dengan Teheran, Canel berkata, ”Hubungan dua negara sahabat, Iran dan Kuba, bersifat historis dan dibangun di atas penghormatan timbal-balik, juga berdasarkan perlawanan besar yang dilakukan kedua bangsa dalam menghadapi embargo dan sanksi-sanksi imperialisme.”

“Dua bangsa Kuba dan Iran memiliki segi persamaan dalam konsep perlawanan, keberanian, kepahlawanan, kemuliaan, dan tidak tunduk kepada proyek-proyek kekuatan imperialis,” kata Canel.

Dalam wawancara dengan stasiun televisi Lebanon itu, Canel juga menyinggung Pemimpin Tertinggi Iran, Ayatullah Ali Khamenei. Ia menyebutnya sebagai “seorang politisi dan Pemimpin Revolusi Iran” dan mengatakan, ”Beliau memiliki kepribadian dengan daya analisis mengagumkan dan pemikiran logis.”

Presiden Kuba juga menyebut Ayatullah Khamenei sebagai orang yang arif bijaksana.

Canel mengungkap bahwa Iran dan Kuba tengah menggodok proyek-proyek gabungan demi mengembangkan ekonomi kedua negara. Ia mengabarkan kemungkinan kunjungan Presiden Iran, Ebrahim Raisi ke Kuba. Di saat bersamaan, Canel juga mengungkap keinginannya untuk melawat ke Negeri Mullah.

Sehubungan dengan perang Rusia dan Ukraina, Canel berpendapat bahwa perang ini bukan membahayakan rakyat negara-negara yang terlibat, tapi juga rakyat negara-negara lain di dunia.

“AS berusaha menyelewengkan fakta dan asal muasal perang ini. Dalam konflik ini, AS menggunakan kekuatan media dan propaganda besar-besaran untuk menghasut opini massal membenci Rusia, mengesankan Rusia sebagai kriminalis, dan menyembunyikan sebab-sebab asli perang,” kata Canel.

“Padahal yang bersalah dalam konflik ini adalah AS sendiri, yang menyulut perang demi mengatasi problem dan melewati krisis-krisis domestiknya… AS memprioritaskan kepentingan komunitas industri-militernya di atas segalanya. AS butuh untuk memicu perang agar bisa menjual persenjataannya dan mengatasi masalah-masalah dalam negerinya.”