Skenario-skenario yang Dihadapi Beirut, dari Pengondisian Serangan ke Lebanon Hingga Kegilaan Rezim Zionis

Share

POROS PERLAWANAN– Utusan Khusus AS untuk Keamanan Energi, Amos Hochstein dalam beberapa tahun terakhir bekerja sebagai negosiator utama Washington dalam masalah Lebanon. Dia mulai bekerja setelah ancaman Hizbullah di tahun 2022 terkait penentuan batas maritim Lebanon dengan Tanah Pendudukan. Dalam krisis terbaru di Gaza, Hochstein bertindak sebagai jalur kontak AS dengan Lebanon.

Dilansir Fars, sekitar 4 pekan lalu bersamaan dengan lawatan ke-4 Antony Blinken ke Tel Aviv dan kunjungan Josep Borrell ke Doha, Hochstein tiba di Beirut untuk menaruh proposal AS di meja guna menghentikan konfrontasi antara Hizbullah dan Israel.

Berdasarkan proposal Hochstein untuk mencegah serangan darat Israel ke Lebanon, Hizbullah harus mundur hingga ke atas sungai Litani di selatan Lebanon. Jika tidak, Israel berencana melancarkan operasi darat untuk mengontrol kawasan tersebut.

Berdasarkan laporan media, Lebanon menolak mentah-mentah proposal Hochstein ini. Beirut menegaskan bahwa selama gencatan senjata belum diberlakukan di Gaza, gencatan senjata juga tidak akan terwujud di selatan Lebanon.

Ada sejumlah poin penting di sini:

Pertama, sejak awal perang Gaza, AS selalu mengaku berusaha mencegah terjadinya perang regional. Namun tak satu pun tanda mengarah ke situ. AS lebih berusaha mengosongkan ring bagi Israel agar pertama-tama membantai warga Gaza, setelah itu baru menuju ke selatan Lebanon.

Kedua, Israel mengancam Lebanon dengan serangan darat, padahal ia sendiri tidak mendapatkan capaian apa pun di Gaza selain membombardir warga sipil dari ketinggian 15 ribu kaki. Pasukan elitenya (Brigade Golani) juga sudah kabur lantaran banyak personelnya yang tewas. Pasukan Lapis Baja Israel pun sudah angkat kaki dari Gaza.

Menurut laporan Biro Intelijen Pertahanan AS, 50 persen pasukan darat Israel diturunkan di Gaza (dengan luas 360 km persegi). Israel juga memusatkan fasilitas operasional untuk 10 ribu km di kawasan itu. Namun tak satu pun sandera dibebaskan dan Hamas pun juga masih berdiri tegak.

Ketiga, Hizbullah sejak 18 tahun lalu berlatih untuk kemungkinan terulangnya Perang 33 Hari. Kali ini, jika Israel melancarkan serangan darat, mereka harus menantikan serangan Hizbullah ke kedalaman Tanah Pendudukan, yang bertujuan untuk merebut kembali Galilea. Hal yang dicemaskan Israel adalah kekuatan rudal Hizbullah dirancang untuk menghancurkan infrastruktur Rezim Zionis. Hal ini diakui dalam laporan berbagai institut AS.

Keempat, AS melalui meja perundingan berniat mewujudkan tujuan-tujuan Israel yang tak bisa diwujudkannya di medan perang. AS berusaha mendesak Perlawanan Lebanon untuk mundur dengan strategi menempatkan kapal-kapal bermeriam atau mendekatkan kapal USS Eisenhower. Namun Hizbullah tidak gentar sama sekali untuk berkonfrontasi dengan Israel. Buktinya adalah serangan terbaru ke pangkalan terbesar Israel di Meron dan markas Komando Utara IDF di al-Shafad.

Bisa diprediksi bahwa pergerakan diplomatik AS di Lebanon dan pengkondisian yang dilakukan media akhir-akhir ini adalah upaya untuk menakut-nakuti Hizbullah. Namun semua ini gagal berkat kewaspadaan Perlawanan. Namun bukan berarti itu telah berakhir.

Berdasarkan logika dan pengalaman Perang 33 Hari, juga pukulan Perlawanan Palestina di Gaza kepada Israel dan penolakan internasional terhadap Tel Aviv, diperkirakan Rezim Zionis tidak akan bertindak bodoh. Namun harus diingat bahwa kebodohan di Tel Aviv tak ada batasnya.

Bukan mustahil bahwa dengan melihat kondisi rentan Pemerintahannya, juga masa depan politiknya yang suram, Netanyahu akan berjudi dan mengetes kembali kekuatan Hizbullah. Di saat bersamaan, ada analisis internal di Partai Likud bahwa jika terjadi perang di front Lebanon, AS akan meningkatkan dukungannya untuk Israel. Partai-partai sayap kanan juga menekan Pemerintahan Netanyahu untuk melancarkan serangan ke lebanon seperti di Gaza.

Dengan kondisi semacam ini, juga teror terhadap petinggi IRGC Sayyid Razi sebagai penyokong logistik Hizbullah, sebagian analis berspekulasi bahwa perang di selatan Lebanon tak terhindarkan.

Alhasil, tidak ada prediksi paten dalam politik. Namun setidaknya di atas kertas, tak ada atmosfer untuk terjadinya perang. Namun dengan melihat kegilaan orang-orang Zionis, kemungkinan terjadinya perang tidak bisa disingkirkan dari meja.