Loading

Ketik untuk mencari

Palestina

Fakta Pilu Gaza: Pembantaian yang Diam-diam Direstui Dunia

Fakta Pilu Gaza: Pembantaian yang Diam-diam Direstui Dunia

POROS PERLAWANAN – Dalam beberapa hari terakhir, adegan-adegan menyayat hati memperlihatkan tubuh-tubuh rakyat Palestina terbakar oleh bom-bom rezim apartheid membanjiri media sosial, memicu gelombang reaksi dari berbagai penjuru dunia. Gambar-gambar beredar luas di media menggambarkan kepedihan mendalam—jiwa-jiwa yang hangus di tengah kobaran api ketidakadilan.

Di balik keheningan para pemimpin dunia, James O’Brien seorang jurnalis asal Inggris dalam programnya di LBC (Leading Britain’s Conversation) dengan lantang, mengatakan bahwa apa yang sedang terjadi di Palestina, bukanlah sekadar perang, melainkan pembantaian.

Netanyahu, katanya, sedang melakukan aksi pembunuhan massal terhadap rakyat Palestina, dan yang lebih mengerikan, ia melakukannya dengan impunitas penuh—tak tersentuh hukum, seolah dibiarkan merajalela tanpa konsekuensi.

James O’Brien, dengan jelas menunjukkan bahwa keheningan dunia, terutama para pemimpin Barat, bukan hanya bentuk abai. Keheningan itu seperti persetujuan diam-diam, restu yang tak terucap, yang memungkinkan kejahatan ini berlanjut. Netanyahu, dalam pandangannya, tahu betul bahwa tak ada yang cukup berani menghentikannya. Dunia hanya menonton, sementara api kematian terus berkobar di Gaza.

Di antara semua adegan kekejaman yang terjadi, adalah pembakaran hidup-hidup Shaaban Al-Dalo, pemuda 19 tahun bersama ibunya, menjadi puncak dari kebiadaban ini. Serangan brutal rezim Zionis ke kamp pengungsi Palestina dengan bom pembakar bukanlah sekadar rekayasa kejam, tapi sebuah kenyataan yang melebihi legenda gelap tentang kamar gas di era Nazi. Kali ini, tidak ada fiksi. Ini adalah mimpi buruk yang nyata, yang terjadi di depan mata kita!

“Mereka tidak peduli dengan siapa yang berdiri di belakang mereka,” ujar O’Brien. “Zionis tidak peduli pada negara-negara Barat, bahkan negara yang mendanai dan mempersenjatai mereka. Mereka beroperasi di atas prinsip kebrutalan, tidak memberi ruang untuk empati. Yang mereka hargai hanyalah kelanjutan dari mesin kekerasannya.

“Bahkan Rumah Sakit al-Aqsa dalam kondisi yang begitu menyedihkan sehingga banyak orang berlindung di tenda-tenda di luar rumah sakit. Tenda-tenda inipun diserang. Beberapa gambar yang beredar menunjukkan pemandangan memilukan: orang-orang yang terbaring di ranjang rumah sakit, dengan infus terpasang di tangan mereka terpanggang hidup-hidup.”

Adegan-adegan seperti ini menggambarkan realitas hitam yang terjadi pada 2024, di tengah abad ke-21 yang seharusnya ditandai dengan kemajuan dan peradaban.

“Kita sedang berbicara tentang abad ke-21,” ungkapnya dengan getir, menggarisbawahi kontradiksi tragis antara harapan dan kenyataan yang dihadapi oleh warga Palestina.

“Rezim ini [merujuk pada Zionis] adalah sekutu kita. Ini adalah sekutu Inggris. Sebuah sekolah juga telah menjadi target serangan, dan kebijakan Israel yang tengah dibahas mungkin sedang diterapkan saat ini di Gaza. Ini adalah gagasan seorang mantan jenderal yang mengatakan bahwa kita harus bertindak seperti teroris dalam praktiknya… Pemerintahan Benjamin Netanyahu saat ini berada di jalur impunitas penuh. Ia sama sekali tidak peduli pada apa yang dunia pikirkan tentang dirinya. Mereka tidak menghargai PBB, Amerika Serikat, maupun Inggris. Angka korban sipil tidak berarti apa-apa bagi mereka. Mereka tidak menghargai anak-anak yang terbakar hidup-hidup. Mereka tidak peduli pada apa pun selain kelanjutan pembunuhan massal.

“Saya tidak tahu apa yang harus saya sebut ini? Pembantaian? Pembunuhan massal? Atau…?”

Gaza Utara: Neraka yang Kian Menggila

Rezim yang dikenal sebagai pembunuh anak kembali melancarkan intensifikasi operasi militer di Gaza Utara. Serangan bertubi-tubi ini menelan korban jiwa yang tragis, dengan laporan terbaru menyebutkan bahwa 65 warga Palestina telah menjadi syahid dalam 24 jam terakhir.

Jumlah total korban yang dilaporkan kini melebihi 42 ribu jiwa, sementara beberapa sumber mengindikasikan angka yang lebih mencengangkan, yakni hingga 118 ribu jiwa.

Gaza Utara kini menjelma menjadi neraka bagi penduduknya, tempat di mana harapan semakin menipis dan rasa aman seolah hanya menjadi kenangan. Di tengah teror yang berkepanjangan, suara tangis dan jeritan kesakitan menggema, memecah keheningan malam kelam. Tanpa henti, bom jatuh dari langit, merobek tubuh dan jiwa, dan meninggalkan jejak hampa yang tak terukur.

PBB, yang berubah menjadi lembaga omon-omon tanpa tindakan nyata, kini memperingatkan tentang situasi di Gaza Utara yang digambarkan sebagai “sangat kritis”. Dalam laporan terbaru, organisasi internasional ini menyoroti fakta mencengangkan bahwa rezim Zionis telah menghentikan 85 persen konvoi bantuan yang seharusnya mengalir menuju wilayah yang terpuruk ini.

Akibat dari intensifikasi operasi militer yang tanpa henti, keadaan kemanusiaan di Gaza Utara telah mencapai titik nadir. Rakyat yang terjebak dalam kekacauan ini menghadapi kenyataan pahit: akses terhadap kebutuhan dasar untuk bertahan hidup terputus. Keputusasaan merayap di setiap sudut, suara tangisan dan jeritan kelaparan meresap di keheningan dunia yang acuh tak acuh.

Namun pemandangan pilu itu berbeda di mata Menteri Luar Negeri Jerman, Annalena Baerbock. Ia menggambarkan pembantaian yang terjadi terhadap rakyat Palestina bukanlah genosida; sebaliknya, ia justru meyakininya sebagai tindakan yang dapat dibenarkan.

Dalam sebuah pernyataan yang mencerminkan ketidakpekaan luar biasa, sang menteri dengan percaya diri mengungkapkan hal itu di depan kamera televisi negaranya, “Israel dapat membunuh warga sipil di Gaza untuk membela diri.” Kata-katanya, yang menggema di ruang publik, menciptakan gelombang keprihatinan dan memantik kutukan, menunjukkan betapa murahnya prinsip-prinsip dasar kemanusiaan digadaikan dengan kepentingan politik kekuasaan. [PP/MT]

Tags:

Tinggalkan Komentar

Your email address will not be published. Required fields are marked *