Akankah Bara Abadi Tongkat Perlawanan Sinwar Mampu Bangkitkan Jiwa-jiwa Beku yang Sekian Lama Tersihir Mantra Kebohongan?
POROS PERLAWANAN – Matahari tenggelam di cakrawala Gaza, meninggalkan langit yang membara seperti luka yang terus menganga. Di tengah-tengah hamparan pasir kelam, di tengah bangunan rumah yang tinggal puing-puing dan reruntuhan, Yahya Sinwar berdiri. Tubuhnya ditempa oleh tahun-tahun perjuangan, terpahat oleh ketabahan dan kelelahan yang tak terkatakan. Udara seakan membeku di sekitarnya, menunggu detik terakhir seorang pejuang yang tahu bahwa waktunya sudah dekat. Namun, Yahya tidak merasa takut. Apa yang bisa ditakuti oleh seorang yang telah lama memeluk maut sebagai bagian dari kehidupannya?
Di tangannya kirinya, ia menggenggam sebatang tongkat sederhana. Bukan senjata yang gemerlap atau peluru yang mematikan, melainkan sepotong kayu tua yang mungkin terlihat tak berarti di mata dunia. Namun di mata Yahya, tongkat ini adalah segalanya. Ia bukan sekadar alat, melainkan simbol—sebuah perlawanan terhadap musuh yang tak terlihat. Musuh yang lebih menakutkan daripada peluru atau roket: kebohongan!
Ingatan yang Membara di Ambang Kehidupan
Dalam keheningan itu, ingatan Yahya melayang. Ia teringat saat-saat pertamanya di medan perjuangan, ketika semangat muda dalam dirinya masih membara. Wajah-wajah sahabat dan keluarga melintas di benaknya, wajah-wajah yang kini banyak di antaranya telah tiada, direnggut oleh perang yang seakan tak pernah berakhir. Namun, meski tubuh mereka telah hancur, semangat mereka hidup dalam dirinya. Yahya adalah penerus nyala api itu, penjaga kisah yang tak boleh padam.
Ia teringat pada anak-anak yang berlarian di antara reruntuhan, bermain dalam bahaya, seakan tak sadar bahwa setiap langkah mereka bisa menjadi yang terakhir. Yahya memandang mereka, melihat masa depan yang terancam punah, namun tetap berharap. Harapan itulah yang terus membakar hatinya, yang memaksanya berdiri tegak meski dunia di sekitarnya runtuh.
Tongkat yang Membedah Ilusi
Kini, di hadapannya, berdiri musuh yang berbeda. Lensa drone tanpa wajah, mata-mata yang dingin dan tak berkedip, siap merekam setiap detik terakhir hidupnya. Yahya tahu, musuh ini lebih licik daripada mesin pembunuh mana pun. Mereka tidak hanya menembakkan peluru, melainkan merangkai kisah—narasi yang membelokkan kebenaran dan menyembunyikan kenyataan di balik lensa yang diatur dengan sempurna. Lensa dan kamera ini adalah senjata dunia modern, menciptakan ilusi yang meninabobokan hati manusia.
Yahya menatap tajam ke arah lensa itu, merasakan tatapan dunia yang dingin di baliknya. Mereka menunggu untuk menyaksikan akhir hidupnya, tetapi Yahya tidak akan membiarkan mereka mengendalikan kisahnya. Dengan satu gerakan pelan tapi pasti, ia mengangkat tongkat di tangannya. Bukan untuk melemparnya ke langit atau tanah, tetapi ke arah mata lensa itu. Ia melemparkannya dengan seluruh kekuatan dan keyakinan yang tersisa dalam dirinya.
Tongkat itu melayang di udara, memotong keheningan dengan elegan, seakan-akan membawa beban seluruh dunia. Setiap putaran kayu itu adalah sebuah jeritan yang tak terdengar, sebuah seruan kepada dunia bahwa kebohongan tidak akan menang. Tongkat itu adalah simbol perlawanan terhadap lensa dan kamera yang tak henti-hentinya menciptakan ilusi, menyusun cerita yang memutarbalikkan kebenaran.
Dialog Batin Seorang Pejuang
Saat tongkat itu terbang, Yahya berbicara dalam hatinya. “Apakah kalian mendengar?” serunya kepada dunia yang tak pernah benar-benar mendengarkan. “Apakah kalian melihat apa yang sebenarnya terjadi di sini? Atau mata kalian terlalu lelah untuk memandang kebenaran?” Setiap putaran tongkat adalah kata-kata yang ia ingin ucapkan, namun tak pernah ia punya kesempatan. Dalam kebisuan itu, Yahya berteriak tanpa suara, mengharapkan satu hati terbuka oleh tindakan terakhirnya.
Ia tahu, dunia di luar sana sedang menyaksikan, tetapi apakah mereka mengerti? Apakah mereka melihat kebenaran di balik layar-layar ponsel mereka, atau apakah mereka hanya terperangkap dalam tontonan yang disusun dengan cermat? Yahya merasakan beban berat pada dirinya, bukan karena takut akan kematian, tetapi karena ketakutannya bahwa kebenaran mungkin tidak pernah sampai pada mereka yang membutuhkan.
Layar-Layar Ponsel yang Membeku
Di balik setiap lensa dan kamera yang merekam, di setiap layar ponsel yang menyala, ada orang-orang yang duduk nyaman di rumah mereka, jauh dari suara ledakan dan lengking jeritan. Mereka menonton seolah-olah ini hanya satu lagi babak dari drama panjang yang mereka tonton tanpa merasa terlibat di dalamnya. Namun tongkat itu, Yahya berharap, akan menembus layar-layar ponsel di tangan. Ia akan membelah kebisuan, memecah kebekuan yang mengurung hati mereka.
Setiap layar di tangan itu seperti tembok yang memisahkan dunia nyata dari dunia yang diatur oleh ilusi. Yahya, dengan tongkatnya, ingin memecahkan tembok itu. Ia tahu ini bukanlah tentang kematiannya sendiri. Ini tentang bagaimana narasi kebohongan terus mencengkeram dunia, membuat manusia-manusia di luar sana lupa akan kebenaran yang tersembunyi di balik reruntuhan dan korban-korban yang terus berjatuhan.
Tongkat yang Mencari Jiwa
Seperti Musa yang membelah laut dengan tongkatnya, Yahya mencoba membelah ilusi yang membelenggu dunia. Tongkat itu, bukan hanya terbang menuju lensa-lensa kamera dan hinggap di ponsel-ponsel saja, melainkan juga menuju hati yang sudah membatu, menuju jiwa-jiwa yang terlena oleh tipu daya. Ia melintasi ruang dan waktu, membawa pesan yang lebih kuat daripada kata-kata.
Di ruang-ruang jauh dari medan pertempuran yang tenang, lewat layar ponsel, orang-orang menyaksikan tongkat itu melayang. Mereka memang melihat, tetapi apakah mereka merasakan? Sedangkan hati mereka telah lama terperangkap oleh kenyamanan, oleh ilusi dunia yang disusun rapi oleh narasi palsu. Yahya berharap, meskipun hanya satu dari mereka bisa mendengar panggilan itu, tongkat itu akan menjalankan tugasnya.
Panggung Terakhir Sang Pejuang Sunyi
Di bawah langit yang terus kelam, Yahya berusaha berdiri gagah seperti seorang aktor dalam drama abadi. Ia sendirian, tetapi tidak kalah. Dunia mungkin melihatnya sebagai seorang pria yang menghadapi kematian, tetapi Yahya melihat dirinya sebagai seseorang yang melawan hingga akhir pengabdian. Panggung ini bukanlah milik lensa dan kamera terbang pembunuh itu. Panggung ini adalah miliknya, dan ia akan memainkan perannya dengan keberanian dan kehormatan.
Ia tahu bahwa dalam sejarah, sering kali mereka yang diabadikan dalam gambar-gambar tidak memiliki kendali atas narasi yang disusun tentang mereka. Tetapi, dengan tongkat yang ia lemparkan, Yahya berusaha merebut kembali narasi itu. Ia tidak akan membiarkan dunia menulis ulang kisahnya dengan kebohongan. Ia, dan hanya ia, yang akan menentukan bagaimana kisah ini diakhiri.
Epilog dari Tongkat yang Tak Pernah Padam
Di ambang kematiannya, Yahya telah melakukan apa yang hanya bisa dilakukan oleh sedikit orang. Ia telah menolak untuk menyerah pada narasi kepalsuan, ia telah melawan ilusi dengan tindakan sederhana namun penuh makna. Tongkat yang ia lemparkan kini melayang dalam keabadian, mencari hati yang bisa dibangkitkan oleh pesan kebenaran.
Dunia mungkin akan melanjutkan, dan layar-layar kamera ponsel mungkin akan terus menyala, tetapi tongkat itu—dengan seluruh bobot spiritual dan simbolismenya—akan terus berputar, terus mencari jiwa-jiwa yang ingin bangun dari ninabobo kebohongan. Yahya mungkin telah tiada, tetapi pesan yang ia sampaikan akan tetap hidup, dalam setiap hati yang terbuka untuk mendengar kebenaran.
Dan ketika kita melihat dunia melalui layar-layar ponsel kita, mari kita ingat: bahwa di balik setiap gambar, ada cerita yang lebih dalam, ada kebenaran yang harus diperjuangkan. Seperti Yahya, kita semua memiliki tongkat perlawanan kita sendiri—kita hanya perlu melemparkannya, dan membiarkan kebenaran menemukan jalannya. [PP/MT]