Israel Ketakutan pada Kata dan Gambar
POROS PERLAWANAN – Serangan pada Jumat 25 Oktober, oleh tentara Israel di Lebanon tenggara menyoroti realitas kelam yang dihadapi jurnalis di wilayah konflik. Israel sengaja menyerang gedung markas tempat berkumpulnya jurnalis, mengakibatkan kematian tiga jurnalis dari lembaga penyiaran Al-Manar TV dan Al-Mayadeen TV: Ghassan Najjar, Ir. Mohamed Reda, dan Wissam Qassem. Dalam serangan itu, beberapa jurnalis lainnya terluka, dan kendaraan bertuliskan “Pers” hancur, menunjukkan betapa seriusnya ancaman terhadap kebebasan pers di kawasan ini.
“Kebanggaan dan martabat bagi para pahlawan kata dan gambar yang telah membuat ngeri dan memperlihatkan kedok musuh, serta menyebarkan berita di medan dengan keberanian. Ketakutan menjadi tuan di ‘Israel’, yang mendorong pengambilan keputusan untuk membunuh kebebasan pers,” kata Nidal Issa, jurnalis Al-Mayadeen.
Dalam konteks yang lebih luas, sejak Oktober 2023, lebih dari 130 jurnalis dan pekerja media telah kehilangan nyawa di Gaza dan Lebanon, menjadikannya periode paling mematikan dalam sejarah yang tercatat oleh Committee to Protect Journalists (CPJ). Kementerian Kesehatan Palestina mencatat setidaknya 175 jurnalis tewas selama periode yang sama, menggambarkan betapa tingginya risiko yang dihadapi para jurnalis yang melaporkan kebenaran di tengah konflik ini.
Ketakutan menguasai setiap keputusan yang diambil oleh Israel, mendorong tindakan brutal terhadap jurnalis yang berusaha meliput peristiwa. Serangan terencana terhadap markas jurnalis, yang tidak menyimpan senjata dan tidak ada tentara, menunjukkan bahwa Israel takut pada kekuatan kata dan gambar. Dalam menghadapi ancaman ini, jurnalis tetap berkomitmen untuk menjalankan tugas mereka, seringkali dengan risiko yang mengancam nyawa.
“Saya tidak bisa membayangkan melakukan pekerjaan ini tanpa risiko. Namun, untuk kebenaran, saya siap,” ungkap seorang jurnalis yang berani meliput konflik di Gaza. Dalam upaya untuk membungkam suara-suara ini, Israel mengabaikan kenyataan bahwa kata-kata akan terus bergema, dan cahaya lensa tidak akan pernah padam. Perjuangan para pahlawan media ini untuk mengungkap kejahatan pendudukan dan memberikan suara bagi yang terpinggirkan akan terus berlanjut.
Kita mungkin tidak akan meratapi para syuhada jurnalis ini. Kesyahidan mereka justru menjadi sumber inspirasi yang tak terhingga, mendorong kita untuk mengungkap kebrutalan yang dialami banyak orang. Serangan terhadap jurnalis merupakan kejahatan perang yang harus dicatat dalam sejarah, mencerminkan betapa rentannya mereka dalam situasi konflik.
Penting untuk menyadari bahwa serangan ini tidak hanya terjadi di Gaza; insiden serupa juga sering terjadi di Lebanon. Data terbaru menunjukkan bahwa tingkat kematian jurnalis meningkat secara dramatis, dan ini mencerminkan tantangan yang dihadapi oleh jurnalis di wilayah konflik.
Dalam perjuangan ini, kita mengenang para syuhada jurnalis yang telah pergi, berharap agar para jurnalis yang terluka segera pulih dan kembali dengan semangat yang lebih menyala. Kita perlu bersatu dalam menyuarakan pentingnya kebebasan pers, yang merupakan hak dasar manusia dan fondasi dari demokrasi yang sehat. Seperti yang diungkapkan oleh jurnalis terkenal, “Tanpa kebebasan pers, tidak ada kebebasan sama sekali.”
Salam hormat kepada para syuhada jurnalis, semoga langkah kita dalam menegakkan kebenaran selalu didukung oleh kemenangan. Karya-karya kita akan menjadi cahaya yang membimbing, menciptakan dunia di mana keadilan dan kebenaran senantiasa berdiri tegak.”
Kemenangan untuk kata dan gambar yang akan terus berlanjut bersama para jurnalis yang terhormat. Ini adalah tantangan bagi kita semua untuk berkontribusi dalam mewujudkan dunia di mana kebebasan pers dilindungi dan dihargai. [PP/MT]