Trump, Hitler, dan Kesetiaan: Kombinasi yang ‘Dibutuhkan’ Amerika?
POROS PERLAWANAN – Jenderal John Kelly dalam wawancaranya dengan New York Times berbagi wawasan mengejutkan: seorang Presiden Amerika ternyata butuh “pelatihan khusus” agar tak terpancing memuji Hitler. Rupanya, Presiden Donald Trump, mantan komandannya, membutuhkan lebih dari sekadar nalar sejarah untuk menahan dorongan melihat diktator tersebut sebagai inspirasi.
Sebuah laporan dari The Atlantic pun memperkuat sorotan ini: Trump pernah berkata bahwa ia “membutuhkan jenderal seperti yang dimiliki Hitler”. Dalam pandangannya, loyalitas berarti ketaatan total—siapa yang tak ingin dikelilingi staf yang patuh tanpa pertanyaan? Namun bagi masyarakat Amerika, keinginan ini tak lagi sejalan dengan harapan mereka akan seorang pemimpin, melainkan menyeret mereka pada figur yang justru menggiring keresahan sosial dan ekonomi di tengah masyarakat.
Di tengah kegelisahan ini, Wakil Presiden Kamala Harris mengutarakan pendapatnya dengan lugas, menyebut Trump seorang “fasis”—satu kata sederhana, namun penuh makna. Pernyataan ini menggambarkan dua sisi dari sosok Trump: kebodohannya dalam memahami sejarah dan hasrat otoriternya. Trump tampaknya mengagumi kekuatan para jenderal Hitler tanpa menyadari bahwa mereka menjalankan kebijakan rasis dan menjadi bagian dari mesin kriminal sang pemimpin. Ketika ia berkata ingin jenderal seperti mereka, mungkin ia hanya melihat kekuatan tanpa mempertimbangkan sisi kelam dari kesetiaan mereka.
Sesungguhnya, yang diinginkan Trump tampak sederhana: orang-orang yang akan mengikuti perintah tanpa ragu, tanpa peduli dampaknya. Kombinasi ini menunjukkan ketidaktahuan yang luar biasa, dan keinginan akan kekuasaan mutlak. Baginya, kesetiaan adalah nilai tertinggi. Namun, pandangan ini mengingatkan kita pada sebuah “organisasi” di mana ketaatan tanpa syarat adalah aturan emas, bukan sebuah prinsip luhur, melainkan gaya kerja klan Mafia. Sama seperti Hitler yang menuntut sumpah pribadi dari setiap prajurit, Trump juga ingin loyalitas penuh. Bagi mereka yang dianggap melanggar, akibatnya tak segan diberikan—lebih dari sekadar ambisi fasis, ini adalah gaya kerja organisasi yang mementingkan diri sendiri.
Kini, Trumpisme hadir kembali, membawa ideologi kebencian yang mencakup supremasi kulit putih, meski dengan dukungan dari kalangan beragam. Di bawah Hitler, ancaman tentara Jerman tak hanya datang dari dirinya saja, melainkan juga dari orang-orang di sekitarnya yang memanfaatkan kekuasaan sang pemimpin. Trump pun dikelilingi oleh para loyalis yang mungkin memiliki motivasi serupa—situasi yang menimbulkan kekhawatiran.
Pada puncak kekuasaannya, Hitler memang memegang kendali penuh meski bukan administrator yang disiplin. Pola kerjanya yang serampangan membuatnya memimpin lewat isyarat, yang cukup dimengerti mereka yang setia. Trump tampaknya memiliki bakat serupa: mengisyaratkan perintah tanpa perlu mengucapkannya langsung.
Jika Trump terpilih kembali sebagai presiden, Amerika bisa menghadapi masa depan yang suram: ekonomi yang terus memburuk, kekerasan yang semakin merajalela, dan tentunya konflik komunal yang tak terhindarkan.
Pada akhirnya, masyarakat Amerika mungkin akan menyadari bahwa mereka terjebak dalam pilihan-pilihan terbatas yang tak sungguh mencerminkan aspirasi mereka. Ini adalah buah dari dosa kolektif yang membelenggu mereka dalam siklus kepemimpinan yang dipaksakan. Karena, ya, Trump, ya, Harris—semua sama saja!. Sama-sama pengabdi setia Zionis, tanpa peduli pada nasib bangsanya sendiri. [PP/MT]
Rujukan:
– New York Times: As Election Nears, Kelly Warns Trump Would Rule Like a Dictator
– The Atlantic: Trump: ‘I Need the Kind of Generals That Hitler Had’