Deretan Kekacauan di Seantero AS dan Dunia, Tandai Detik-detik Terakhir Era Arogansi Donald Trump
POROS PERLAWANAN – Presiden AS, Donald Trump terjebak dalam spiral yang akan menenggelamkannya, disebabkan ketidakmampuannya menerapkan kebijakan yang diperlukan untuk mengatasi salah satu dari krisis ini.
Thomas Wright menulis sebuah artikel di majalah Amerika “The Atlantic” dan ia melihat bahwa “kita sekarang berada di tahap terakhir dari era Presiden AS Donald Trump, sebab setelah memasuki era arogansi di mana Trump secara sistematis ‘membuang’ orang dewasa, tahap berikutnya ia mulai menghadapi kontradiksi sebagai konsekuensi komunikasinya terhadap China dan Iran, khususnya. Sekarang, akhirnya kita mencapai krisis mengerikan yang panjang dan fase kehancuran.”
Selama tiga tahun kekacauan, Donald Trump mengalami inkonsistensi dan tidak terorganisir, setidaknya dalam pandangan Partai Republik. Hal itu karena ia didukung oleh ekonomi kuat yang ia warisi dari pendahulunya, ditopang daftar panjang “agenda” Partai Republik. Inkonsistensi itu terejawantah dalam banyak elemen, seperti intervensi peradilan, deregulasi, juga pembatalan kesepakatan nuklir Iran.
Krisis terburuk yang pernah terjadi adalah epidemi virus Corona, yang telah melemahkan setiap pemimpin dan bangsa. Krisis ini menuntut kecakapan, disiplin, kepercayaan pada kekuasaan, pengorbanan dan kesabaran. Kemudian krisis lain datang, resesi ekonomi. Lalu pembunuhan brutal terhadap George Floyd. Sekarang lebih dari 100.000 orang telah meninggal, lebih dari 40 juta menganggur, dan protes keras telah menyebar ke seluruh negeri.
Trump terjebak dalam spiral ke bawah, karena ia tidak dapat menerapkan kebijakan yang diperlukan untuk mengatasi salah satu dari tiga krisis ini. Ia telah melakukan tindakan mengejutkan seperti menuduh wartawan melakukan pembunuhan, menarik diri dari Organisasi Kesehatan Dunia, dan mencoba menuntut pejabat pemerintahan Obama. Langkah-langkah ini hanya memperburuk masalah dan membuatnya terus berlipat ganda.
Kebijakan luar negeri bukan masalah paling penting yang dihadapi negara AS hari ini, tetapi periode 48 jam selama seminggu terakhir telah memicu kekacauan total.
Pada hari Kamis, parlemen China mengeluarkan Undang-Undang Keamanan Hong Kong baru yang mengakhiri model “satu negara, dua sistem”. Pemerintah Amerika Serikat, Inggris, Kanada dan Australia mengeluarkan pernyataan bersama yang mengecam tindakan itu dengan sikap yang mengkhawatirkan.
Uni Eropa mengutuk Undang-Undang tersebut, tetapi tidak dapat menyetujui tindakan hukuman apa pun. Di belakang layar, para diplomat AS mengagendakan KTT G7 yang para pemimpin akan mengajukan “front persatuan” tentang masalah Hong Kong, serta mendukung mereka dengan langkah-langkah konkret.
Perdana Menteri Jepang, Shinzo Abe dan Presiden Prancis, Emmanuel Macron menyatakan kehadiran mereka. Kanselir Jerman, Angela Merkel lebih berhati-hati tetapi mengatakan dia akan berpartisipasi dalam KTT dengan cara apa pun “untuk memperjuangkan pluralisme”.
Pada Kamis malam, protes pecah atas kematian Floyd. Pada hari Jumat, Twitter mengeluarkan peringatan kepada Trump tentang ancaman kekerasan dengan tweet yang mengatakan, “Ketika penjarahan dimulai, penembakan dimulai.” Trump menjawab dengan mencoba mengalihkan perhatian. Dia mengadakan konferensi pers pada pukul 2 siang, mengumumkan bahwa dia akan mengakhiri hubungan dengan Organisasi Kesehatan Dunia dan secara sepihak menyatakan tanggapan atas tindakan China terhadap Hong Kong. Dalam beberapa jam, Angela Merkel mengumumkan bahwa dia akan mundur dari KTT. Trump, hari berikutnya, mengatakan ia menunda KTT.
Penundaan itu menghancurkan harapan bahwa organisasi multilateral akan mengutuk tindakan Tiongkok terhadap Hong Kong. Rusia juga merupakan pendukung kuat posisi China bahwa Hong Kong adalah masalah domesti…