Loading

Ketik untuk mencari

Analisa

Negara-negara Tangguh, Korban Kejahatan Globalisasi yang Menolak Tunduk Menyerah

file-20200121-117938-1mrt3a5-825x340-1.jpg

POROS PERLAWANAN – Dalam satu putaran liberalisme global paling kejam, sebuah gelombang protes dari serikat buruh terjadi di Britania Raya. Peristiwa ini kemudian dikenang sebagai ‘Kerusuhan Brighton 1981’.

Margaret Thatcher, Perdana Menteri yang baru menjabat (sejak 1979) kala itu mengubah sistem ekonomi Inggris menjadi kapitalis global. Ia melakukan reformasi ekonomi secara sporadis; mendukung pasar bebas, kontrol ketat atas belanja publik, pemotongan pajak, hingga privatisasi perusahaan-perusahaan negara.

Thatcher berhasil membungkam aksi mogok kerja penambang Britania Raya yang terjadi hingga tahun 1985. Ia lebih suka mengutuk kemalasan individu daripada mengakui kebrutalan sistem negaranya. Alih-alih menerima tuntutan buruh, Pemerintahannya justru menggalakkan slogan, “naik sepeda”.

Ini bukan model sepeda motor Che Guevara, tapi sepeda lain: sebuah simbol kekalahan kaum buruh dan kemenangan “Iron Lady” (Si Wanita besi) saat itu. Ini adalah sepeda kayuh untuk mencari peluang kerja.

Ini adalah babak baru yang menggambarkan kondisi Britania Raya, yang sebelumnya berhaluan sosialisme, lalu bertransformasi menjadi negara dengan misi terbatas dalam hal keamanan dan pengumpulan pajak.
“Kita telah berusaha sekuat mungkin untuk menggulung sosialisme, lebih baik dari pemerintahan Konservatif sebelumnya.” Ungkap Thatcher ketika konferensi Partai Konservatif tahun 1982.

Thathcher menjadi simbol kemenangan “globalisasi”, sebuah tatanan ‘dunia terbuka dan beragam’ yang dikendalikan oleh oligarki ekonomi. Sikap politiknya kemudian populer dengan sebutan, Thatcherisme.

Pada perkembangannya, globalisasi menjadi hegemoni sistem yang menerapkan sejumlah syarat bagi negara-negara untuk bisa bergabung, juga pemaksaan sanksi atas mereka, jika keluar dari sistem itu.

Adapun syarat dan ketentuan aksesi, agar bisa menjadi bagian dari pusaran globalisasi ini sekurang-kurangnya ada empat (meski tak harus selalu dipenuhi). Pertama, menyerahkan infrastruktur, pengelolaan sumber daya alam, juga mengesktraksi barang strategis untuk investasi asing. Kedua, pinjaman Dana Moneter Internasional untuk mengamankan anggaran belanja dan pendapatan pemerintah. Ketiga, mengekspor tenaga kerja untuk membawa lebih banyak transfer uang dan uang kertas. Keempat, memaksakan pertukaran perdagangan dengan dolar AS.

Sebagaimana kita tahu, perbedaan Foreign Direct Investment (FDI) atau ‘koefisien investasi asing’ antara Arab Saudi dan Iran sangat signifikan. Alasannya, karena status keanggotaan penuh Saudi, sementara Iran yang memiliki populasi penduduk dua kali lebih banyak dan tingkat kekayaan alam lebih tinggi, menolak prasyarat keanggotaan itu. Ini adalah kondisi alami dari perbedaan mengadopsi syarat pertama.

Menurut Dana Moneter Internasional (IMF), total utang di dunia mencapai $188 triliun, yang mengakibatkan perbandingan rasio utang dengan Produk Domestik Bruto (PDB) sebesar 226%. Artinya, kita bekerja keras untuk melunasi hutang, mencapai surplus anggaran dan menaikkan nilai uang kertas tertentu hanya untuk menguntungkan satu pihak.

Ekonomi telah bergeser sangat tajam dalam mendukung nilai tukar, dengan mengorbankan nilai penggunaan. Singkatnya, kita tidak lagi tahu, mengapa kita bekerja, untuk siapa, dan apa sebenarnya yang terjadi. Ini adalah konsekuensi alami dari mengadopsi syarat kedua.

PBB, dalam laporan 2019 memperkirakan, bahwa jumlah orang yang telah meninggalkan perbatasan negara mereka menggunakan “sepeda Thatcher” mencapai 273 juta. Ini adalah konsekuensi logis dari mengadosi syarat ketiga.

Kemudian, agar sanksi lebih berat bagi negara-negara penentang sistem ini, yang mereka sebut “penjahat”, mereka menetapkan standar normatif alat tukar perdagangan di dunia. Itulah dolar, yang menghalangi “negara penjahat” untuk membeli kebutuhan mereka yang tidak bisa diproduksi sendiri, membeli bahan baku yang dibutuhkan industri mereka, atau mengekspor barang mereka. Sebab, untuk mempertukarkan semua itu hanya menggunakan satu mata uang, yaitu dolar.

Siapapun yang tidak mengekspor, ia hanya bisa menunggu bantuan keuangan atau persetujuan untuk mendapatkan uang kertas. Inilah konsekuensi alami dari syarat keempat.

Tidak ada yang percaya, bahwa situasi ini mungkin berhenti meski untuk sejenak; Investasi, pinjaman, impor dan pengeluaran, impor ekstrem tenaga kerja asing, pengiriman uang, konsumsi, repatriasi di usia tua, bahkan dominasi dolar.

Ibarat perputaran bumi mengelilingi matahari; hukum alam tidak bisa dilanggar, dan tidak mungkin berhenti, bahkan untuk sesaat.

Kendati demikian, protes tumbuh di beberapa tempat untuk memblokir pemaksaan oligarki ini, atau setidaknya menolak dominasi absolutnya.

Hal itu ditandai dengan munculnya kritik dalam bentuk fiksi sinematik, seperti film Fight Club (dirilis 1999), La Casa de Papel (House of Paper, rilis 2017) dan lainnya; dalam bentuk sastra budaya (sebagaimana Teori Kritis Postmodernisme dan Mazhab Frankfurt); juga muncul dalam wujud negara-negara dan bangsa, seperti Iran, Korea Utara, Suriah, Jalur Gaza, Venezuela dan Lebanon Selatan.

Model-model “protes” ini telah mencoba makna meninggalkan sistem, sebagian atau seluruhnya. Kemudian oligarki bereksperimen dengan sanksi-sanksi atas mereka, yang puncaknya adalah blokade dan embargo.

Iran adalah salah satu negara yang paling sedikit menggunakan tenaga kerja asing, jika dibandingkan dengan postur ekonominya, dan sektor vital energi dan ekonominya tidak berada di bawah kendali perusahaan Internasional.

Utang pemerintah Iran (yang sebagian besar bersifat internal) tidak melampaui lompatan tertinggi, 35% dari Produk Domestik Bruto (PDB), sehingga sanksi tidak bisa menjadi motivasi yang cukup untuk memicu rasa takut. Oleh karena itu, embargo adalah konsekuensi alami dari kasus Iran.

Blokade dan embargo ini, yang dimulai sejak awal kemenangan Revolusi, mengajarkan Iran tentang perlunya kembali ke pokok-pokok dasar untuk melanjutkan kehidupan. Karena itu persamaan embargo itu sederhana, sebab mereka juga tidak mendapatkan banyak manfaat dari pencapaian kemanusiaan, hingga empat syarat keanggotaan di atas diadopsi.

Di saat Garda Revolusi Republik Islam Iran memikirkan cara membuat mortir, negara lain merasa cukup nyaman mengimpornya dengan harga bersaing.

Pada saat Iran bertahan selama delapan tahun dalam upayanya memperkaya uranium, mengingat kegagalan dunia untuk menyediakan bahan bakar bagi pembangkit nuklir mereka, negara-negara lain mengimpor energi mereka melalui pipa gas, kapal minyak dan teknologi listrik.

Di saat wabah Corona melanda, dan objek invisible ini memadamkan tombol operasi ekonomi, mendadak seluruh negara-negara partisipan globalisasi terpasung dalam serangkaian pertanyaan besar, “Apa yang kita dapatkan dari krisis ini?” “Apa yang sebenarnya terjadi di tengah pergeseran yang gila ini?” “Apa yang dimaksud dengan pertumbuhan pada lembar-lembar laporan lembaga keuangan, bahwa perusahaan internasional telah berkontribusi untuk menaikkan ‘angka’ mereka?”

Apa yang terjadi bukanlah kudeta terhadap globalisasi, melainkan rehat sejenak sebelum berubah penampilan dalam bentuknya yang baru.

Hari ini, negara-negara anggota globalisasi itu mempertanyakan adopsi kondisi tentang kemampuan mengoperasikan instalasi vital mereka tanpa bantuan eksternal. Mereka mulai mencari-cari tenaga lokal terlatih, juga kemungkinan membayar hutang-hutang mereka sehubungan dengan resesi ekonomi global.

Mereka mencari kemungkinan mengimpor senjata, mengingat ketidakmampuan membuatnya. Mereka berupaya mengimpor obat-obatan, akibat ketidakmampuan memproduksinya. Mereka juga berupaya keras untuk melakukan penanaman mandiri di sektor pertanian, tanpa harus mengimpor benih.

Karena pertanyaan-pertanyaan spesifik ini, sebuah spektrum luas berharap kesepakatan nuklir Iran gagal. Sebab mereka melihat, Iran yang terkepung ternyata lebih kuat daripada Iran yang terbuka terhadap tatanan dunia yang ada.

Hari ini, setelah menyaksikan pembajakan masker oleh Amerika, Italia yang membakar bendera Uni Eropa, pernyataan tajam Perdana Menteri Serbia terhadap Uni Eropa, desakan Barat agar sanksi Iran terus berlanjut, juga blokade Gaza berkelanjutan, dunia menemukan bahwa negara-negara itu telah hidup bertahun-tahun, meski terlantar “tanpa gembala sejati”.

Apa yang terjadi ini adalah tentang ekonomi para mafia yang mencari sasaran internasional, dan keempat syarat di atas adalah item paling penting mereka.

Hari ini, pihak-pihak yang telah mengadopsi empat syarat tersebut baru menyesal. Saat ini mereka membutuhkan tenaga kerja terlatih, memanfaatkan sumber daya, juga ilmu pengetahuan untuk mengembangkan industri internal, daripada mengandalkan semuanya dari “impor kalengan”.

Adapun pihak-pihak yang mengalami blokade ekonomi -ketika semua orang percaya bahwa itu adalah siklus yang tidak bisa ditombol penghentiannya, mereka tetaplah bangsa yang tidak menangis saat epidemi mengepung dan mengerem langkah mereka.

Spirit “Perlawanan” telah menciptakan antibodi yang membantu orang-orangnya menghadapi blokade. Tak terkecuali pada kondisi yang sama, hari ini, saat mereka harus melawan wabah virus. Ini bukan mengait-kaitkan aspek politik dan biologi, tapi agar dunia tetap membuka mata terhadap Iran, Gaza, Suriah dan Lebanon Selatan. (Bahwa) Mereka (inilah yang selama ini sudah) terbiasa menghadapi kejahatan globalisasi. Mereka (pula yang terbukti) tidak berteriak (putus asa dan menyerah kalah) dengan mudah!

Sumber: Almayadeen
Penulis: Mohammad Farj, penulis dan peneliti Yordania
Disadur bebas oleh: Syanah Elkha

Tags:

Tinggalkan Komentar

Your email address will not be published. Required fields are marked *