Loading

Ketik untuk mencari

Analisa

Netanyahu Diwawancarai Media al-Arabiya Milik Saudi, Pertanda Tel Aviv-Riyadh Siap Normalisasi?

Netanyahu Diwawancarai Media al-Arabiya Milik Saudi, Pertanda Tel Aviv-Riyadh Siap Normalisasi?

POROS PERLAWANAN – Sepuluh hari lalu, mantan Menlu Saudi, Adel al-Jubeir dalam sebuah wawancara dengan media Barat menyatakan bahwa normalisasi hubungan Riyadh-Tel Aviv tidak jauh dari jangkauan. Kemudian pada Jumat kemarin, ketika Benyamin Netanyahu menjadi tamu al-Arabiya, situs Saudi berbahasa Inggris seolah sebagai bukti janji al-Jubeir.

Dilansir al-Alam, tidak ada keraguan bahwa Saudi dalam beberapa tahun terakhir melakukan aktivitas secara diam-diam untuk mengumumkan normalisasi dengan Israel. Ketika al-Jubeir tampaknya “dipecat” dari Kemenlu usai pembunuhan Jamal Khashoggi, bisa diduga bahwa ia mengemban misi yang lebih penting dari sekadar urusan kebijakan luar negeri Saudi.

Dalam rentang waktu ini, sepertinya al-Jubeir berupaya melapangkan jalan normalisasi. Sekarang setelah kunjungan Presiden AS, dan di sisi lain, lawatan Presiden China ke Riyadh, ini adalah kesempatan yang tepat bagi Saudi untuk mendeklarasikan normalisasi.

Di saat sebagian besar suporter di Piala Dunia Qatar menyuarakan penolakan dan kebencian terhadap Israel, Saudi memilih untuk mewawancarai Netanyahu, itu pun lewat media yang kurang mendapat perhatian dari Muslimin dunia, terutama 500 juta orang Arab.

Meski wawancara dengan Netanyahu adalah bom berita, namun publikasinya dari sebuah situs berbahasa Inggris, yang tidak diliput oleh media-media Saudi lain, pada hakikatnya adalah sebuah uji coba untuk mengetes reaksi Umat Islam yang menentang normalisasi.

Saudi bersikeras mengumumkan penyambutannya terhadap proyek normalisasi, meski saat ini aliansi sayap kanan Israel belum berhasil membentuk Kabinet. Ini berarti bahwa dalam pandangan Bin Salman, tidak ada lagi isu bernama norma Palestina dan bahwa Israel, apa pun kondisinya, “layak untuk mendapat pengakuan internasional”.

Normalisasi hubungan Riyadh-Tel Aviv semestinya sudah dilakukan dan diumumkan sejak lama. Namun tampaknya hal utama yang menunda tindakan ini adalah upaya Bin Salman untuk mendapatkan sejumlah keuntungan dari pihak AS.

Pertama, Bin Salman berniat menikam Palestina dari belakang, namun ia ingin mendapat imbalan sepadan berupa persenjataan dan perangkat militer AS yang sama seperti milik Israel.

Kedua, Bin Salman berupaya mendapatkan senjata nuklir.

Ketiga, ia berambisi mendapatkan manfaat-manfaat militer dari NATO sama seperti yang diperoleh anggota Pakta ini.

Harus ditunggu apakah Bin Salman berhasil mendapatkan keinginan-keinginan di atas dan sampai kapan ia bisa menjadikan tuntutan-tuntutan ini sebagai syarat normalisasi dengan Israel. Namun yang jelas, kebijakan tradisional AS menyatakan bahwa tak satu pun negara di Kawasan yang boleh lebih mengungguli Israel.

Tags:

Tinggalkan Komentar

Your email address will not be published. Required fields are marked *