Loading

Ketik untuk mencari

Opini

Simbiosis Mutualisme antara Revolusi Islam Iran dan Norma Pembebasan Palestina sebagai ‘Puncak Persoalan Islam’

Simbiosis Mutualisme antara Revolusi Islam Iran dan Norma Pembebasan Palestina sebagai 'Puncak Persoalan Islam'

POROS PERLAWANAN – Sudah empat dekade berlalu sejak Imam Khomeini menamakan Jumat terakhir Bulan Ramadan sebagai Hari Quds Internasional. Perlu dikaji apa dampak dari penamaan tersebut hingga masa ini. Apa yang diperoleh bangsa Palestina dari penamaan Hari Quds selama 40 tahun terakhir, dan di lain pihak, apa yang didapat Republik Islam dari dukungannya terhadap norma Palestina?

Perlu disebutkan bahwa Hari Quds Internasional tidak hanya mencerminkan kebijakan Revolusi Islam terkait Palestina saja, tapi juga merefleksikan konsep universal dan sebuah gagasan mulia untuk umat manusia.

Hal ini bisa dilihat dalam ucapan Imam Khomeini. Beliau mengatakan, ”Hari Quds bersifat universal. Ini bukan hari yang hanya dikhususkan untuk Quds saja. Ini adalah hari perlawanan kaum tertindas terhadap kaum arogan. Ini hari perlawanan bangsa-bangsa yang dizalimi AS dan selainnya. Ini adalah hari yang di situ kaum mustadafin menghadapi kaum arogan dan menyungkurkan hidung mereka ke tanah.”

Makna lain yang tersirat dalam ucapan Imam Khomeini adalah, Quds merupakan simbol kebenaran, sedangkan Rezim Zionis adalah intisari arogansi dan kezaliman. Kehancuran Zionis sama dengan kebinasaan hegemoni kejahatan di dunia.

Palestina Pasca Kemenangan Revolusi Islam

Revolusi Islam meraih kemenangan di saat Palestina tengah dalam kondisi terburuk. Perjanjian Camp David, yang merupakan langkah pertama di Dunia Arab untuk mengakui Israel, telah ditandatangani setahun sebelum itu.

Meski keanggotaan Mesir di Liga Arab dan OKI segera dibekukan setelah perjanjian tersebut, namun kembalinya Mesir ke dua organisasi itu 10 tahun setelahnya menunjukkan, banyak pemimpin Arab yang cenderung ingin berkompromi dengan Israel. Hanya saja mereka tidak bernyali untuk menampakkannya.

Di dalam negeri Palestina, Kelompok Fatah tengah berkutat dengan perang saudara di Lebanon. Pada dasarnya, keluarnya Fatah dari Yordania pada tahun 1971 dan kepindahannya ke Lebanon merupakan awal dari proses yang berujung pada kepergian semua kader Fatah ke Tunisia pada tahun 1982.

Dengan demikian, Israel tak lagi merasa terancam oleh Fatah. Di tahun ini pula Yaser Arafat dalam pidato terkenalnya di Sidang Umum PBB mengakui “hak eksistensi Israel.”

Revolusi Islam Iran muncul di saat bangsa Palestina sudah kehilangan harapan terhadap bantuan dari luar dan dalam. Bangsa Palestina menyaksikan sebuah fenomena baru, yang substansinya berbeda dengan Nasionalisme Arab yang mengklaim sebagai pembela Palestina.

Di hari-hari pertama Revolusi, Kedubes Israel di Teheran diganti menjadi Kedubes Palestina. Setahun setelah Revolusi, kelompok Jihad Islami yang berporos pada Fathi Shaqaqi pun terbentuk.

Selama studinya di Mesir, Shaqaqi mencermati aktivitas Imam Khomeini dan Revolusi Islam. Pasca kemenangan Revolusi, ia menulis buku terkenalnya yang berjudul “Khomeini, Solusi dan Alternatif Islam.”

Didirikannya Hizbullah pada tahun 1984 telah mengubah kondisi Lebanon dan laju perlawanan. Hingga akhirnya Hizbullah pada tahun 2000 sukses mengusir Israel dari tanah Lebanon. Ini adalah kali pertama Rezim Zionis angkat kaki dari sebuah negara Muslim karena kalah dalam konfrontasi bersenjata.

Intifada Pertama bermula dari Gaza pada musim gugur 1987. Beberapa bulan kemudian, Hamas pun mendeklarasikan eksistensinya. Enam tahun setelah PLO mengakui eksistensi Israel, Hamas bersama Jihad Islami mulai mengubah perimbangan kekuatan Palestina.

Revolusi Islam memberi solusi kepada bangsa Palestina untuk mengandalkan potensi mereka sendiri. Dengan kata lain, Palestina jangan berharap kepada negara-negara Arab, Liga Arab, atau belas kasih Sidang Umum PBB. Intifada merupakan perwujudan praktis dari solusi ini. Intifada Pertama bisa disebut sebagai titik perubahan dalam merekonstruksi spirit bangsa Palestina.

Pembebasan selatan Lebanon pada 2000, Intifada Kedua di tahun yang sama, kemenangan Hizbullah dalam Perang 33 Hari tahun 2006, kemenangan Hamas dalam pemilu internal Palestina 2006, Perang 22 Hari Gaza tahun 2008-2009, dan Perang Gaza tahun 2014 (yang tidak menghasilkan apa pun bagi Israel), semua adalah sederet perkembangan yang tidak pernah terjadi sebelum Revolusi Islam.

Perkembangan ini terjadi berkat pola pandang Imam Khomeini terhadap isu Palestina. Revolusi Islam mengubah isu Palestina dari “problem Arab murni” menjadi “puncak persoalan Islam.”

Dengan menamakan Jumat terakhir Ramadan sebagai Hari Quds Internasional, Imam memberikan nuansa keislaman kepada perjuangan bangsa Palestina. Sebelum itu, para pejuang Palestina menyebut perlawanan mereka dengan istilah “nadhal” dan “kafah” yang berarti pertempuran. Namun, pasca Revolusi, istilah “jihad” secara bertahap mulai lazim digunakan oleh mereka.

Soft Power Republik Islam Iran atas Dukungannya terhadap Norma Palestina

Soft power didefinisikan sebagai “kemampuan memengaruhi orang lain melalui cara persuasif, bukan dengan kekerasan atau iming-iming.” Iran sendiri memiliki banyak sumber untuk meraih soft power, seperti kekayaan budaya dan peradaban, posisi geografis, dan literatur sastra.

Namun, di era ketika ada banyak wacana Timur dan Barat berlomba-lomba memengaruhi pemikiran manusia, penawaran sebuah wacana baru bisa disebut sebagai sumber soft power.

Wacana Revolusi Islam adalah sebuah sumber soft power yang melebihi sumber-sumber di atas. Revolusi Islam menawarkan sebuah gagasan baru kepada manusia, terutama kaum Muslim. Di saat ketika Revolusi Islam membawa harapan bagi kaum tertindas, ia juga merupakan ancaman bagi kaum arogan.

Yang dilakukan Revolusi Islam adalah menghidupkan kembali wacana-wacana keislaman, seperti pantang ditindas, kehidupan bermartabat, kemerdekaan, dan spiritualitas dalam semua sendi kehidupan. Ini adalah ide-ide yang menarik bagi kaum tertindas di Kawasan, termasuk para cendekiawan Muslim.

Dukungan terhadap Palestina sejak awal menunjukkan bahwa Revolusi Islam tidak khusus bagi Syiah saja. Di masa ketika kebanyakan negara-negara Sunni meninggalkan Palestina, sebuah pemerintahan yang baru dibentuk secara lantang menyuarakan pembelaan untuk bangsa tertindas berdasarkan ajaran Islam. Inilah soft power yang diperoleh oleh Revolusi Islam.

Dukungan nyata untuk Palestina, bukan sekadar slogan, telah mengangkat nama Iran. Para pihak penentang regional Iran dan media-media Saudi selalu berupaya menyangsikan ketulusan Republik Islam Iran. Bahkan media seperti al-Arabiya dan al-Sharq al-Awsat pernah menuding Iran berkolaborasi dengan Israel.

Penamaan hari Jumat terakhir Ramadan sebagai Hari Quds adalah sebuah langkah cerdas untuk menarik orang-orang ke kancah perlawanan. Kali ini, bukan negara-negara yang hadir di konferensi-konferensi yang setengah hati mencari kemerdekaan bagi Palestina. Kali ini, rakyat di negara-negara Islam yang harus turun ke lapangan memperjuangkan kemerdekaan Palestina. Dan ini adalah “perwujudan soft power yang telah diraih Republik Islam Iran.”

Disarikan dari tulisan Reza Dehqani/Sumber: Fars

Tags:

Tinggalkan Komentar

Your email address will not be published. Required fields are marked *