Loading

Ketik untuk mencari

Analisa

Kelemahan-kelemahan ‘Teori Deeskalasi Ketegangan’ Bennett

Kelemahan-kelemahan ‘Teori Deeskalasi Ketegangan’ Bennett

POROS PERLAWANAN – Tampaknya PM Israel, Naftali Bennett tidak menerima ide sebagian perintis Zionisme terkait imigrasi paksa bangsa Palestina. Para pendukung ide ini berpendapat, membiarkan rakyat Palestina tinggal di negeri mereka adalah sebuah kesalahan besar untuk masa depan Israel.

Dilansir al-Alam, Bennett memilih untuk mengusung teori “deeskalasi ketegangan dan konflik” serta berusaha mengeksekusinya saat ini. Pada dasarnya, istilah ini diciptakan penulis Israel bernama Micah Goodman, yang merupakan rujukan dan penasihat Bennett.

Dalam buku “Catch-67: The Left, the Right, and the Legacy of the Six-Day War”, Goodman menyebut Tepi Barat sebagai perangkap bagi Rezim Zionis. Ia meyakini, tidak ada jalan keluar dari perangkap ini kecuali mengurangi ketegangan dan konflik dengan warga Palestina.

Untuk tujuan ini, Goodman menggulirkan dua opsi. Opsi pertama, warga Palestina harus puas dengan secuil pangan dan sedikit fasilitas ekonomi yang diberikan kepada mereka. Opsi kedua, warga Palestina harus bersiap menghadapi perang destruktif yang tidak akan bisa mereka tanggung akibatnya.

Dari sudut pandang Rezim Zionis, “deeskalasi ketegangan” sama saja dengan proyek “perdamaian ekonomi” yang digagas Benyamin Netanyahu. Ia menggulirkannya pertama kali di Konferensi Herzliya pada 2009 usai menjadi PM Israel.

Dalam konferensi itu, Netanyahu berkata bahwa orang Palestina harus berhenti memimpikan pembentukan negara independen. Mereka harus menerima perubahan dalam level kehidupan, kesejahteraan ekonomi, peluang kerja, dan investasi tak terbatas demi masa depan anak-anak mereka.

Bennett pun menerima ide Deeskalasi Ketegangan atas saran sekutunya, yaitu Yair Lapid. Lapid berkeyakinan, kelanjutan konfrontasi bukan hanya tidak membuahkan hasil, namun juga bisa meruntuhkan Kabinet Israel.

Dari sisi lain, ide Deeskalasi Ketegangan berarti bahwa: pertama, PNA berubah menjadi instrumen layanan murni untuk menjalankan proyek ini; kedua, warga Palestina menerima fasilitas seperti biasanya, dengan sedikit tambahan peluang kerja, di Tanah Pendudukan 1948. Setelah itu, para tenaga kerja ini diubah menjadi alat untuk menekan masyarakat Palestina agar mereka tidak melakukan perlawanan.

Jika ini terjadi, jelas masyarakat Palestina akan berubah menjadi komunitas konsumtif. Mereka akan lupa bahwa jati diri Quds terancam bahaya dan wilayah Tepi Barat sedikit demi sedikit akan dijadikan permukiman Zionis.

Namun dengan melihat peristiwa-peristiwa tahun 2000, teori ini tetap tidak akan mendatangkan hasil bagi Israel. Di awal milenium kedua dan tahun-tahun sebelumnya, warga Palestina selama 5 tahun menikmati berbagai bantuan dan relatif hidup sejahtera. Namun sekonyong-konyong warga Tepi Barat melakukan kebangkitan, yang kemudian menjadi awal Intifada Kedua saat menjalar hingga ke Gaza.

Di masa itu, Intifada dipicu oleh buntunya celah-celah politik dan tiadanya solusi yang adil. Warga Palestina melihat bahwa kebijakan-kebijakan Israel telah memusnahkan semua peluang-peluang mereka. Hal inilah yang mendorong warga Palestina mengabaikan aspek kesejahteraan ekonomi dan memilih untuk bangkit melawan.

Hari ini pun, dengan melihat kondisi krisis dan masalah-masalah yang memicu ketegangan, ada kemungkinan kebangkitan lain akan muncul di Palestina.

Tags:

Tinggalkan Komentar

Your email address will not be published. Required fields are marked *