Loading

Ketik untuk mencari

Analisa

Kuasai Seni Perang Asimetris, Iran Jawab Embargo dengan Lompatan Kemajuan Saat Sejumlah Negara Timteng Terpuruk Akibat Anjloknya Harga Minyak

Kuasai Seni Perang Asimetris, Iran Jawab Embargo dengan Lompatan Kemajuan Saat Sejumlah Negara Timteng Terpuruk Akibat Anjloknya Harga Minyak

POROS PERLAWANAN – Majalah terbitan Swiss, Neue Zurcher Zeitung, memuat artikel tentang krisis ekonomi dunia yang dipicu pandemi Corona. Artikel yang ditulis Christian Weisflog ini juga menganalisis situasi ini dan terpuruknya ekonomi yang dibangun dengan fondasi sektor perminyakan.

Meski dikatakan bahwa perubahan mencolok harga minyak tak akan memengaruhi perubahan politik, namun kadang kala perubahan ini bisa meruntuhkan imperium-imperium besar.

Runtuhnya Uni Soviet memang tidak bisa dijelaskan hanya dengan jatuhnya harga minyak pada dekade 80-an. Namun, tanpa jatuhnya harga minyak, barangkali Uni Soviet tidak akan runtuh. Moskow saat itu tak sanggup menanggung program ekonomi yang tak lagi efektif gara-gara harga minyak yang merosot.

Tidak heran jika negara-negara OPEC Plus juga bereaksi terhadap tren turunnya harga minyak baru-baru ini. Dengan dipimpin Rusia dan Saudi, negara-negara ini pada pertengahan April sepakat untuk memproduksi minyak kurang dari 10 juta barel per hari. Namun, karena krisis Corona akan melumpuhkan ekonomi dunia dalam waktu yang lama, upaya-upaya diplomatik hingga kini belum membuahkan hasil.

Harga minyak bahkan terus merosot hingga minus. Saat ini, harga minyak masih berkisar antara 15 hingga 25 dolar. Dibandingkan dengan bulan-bulan lalu, “Emas Hitam” ini telah kehilangan lebih dari separuh nilainya dalam tempo yang sangat singkat.

Timur Tengah di Ambang Perubahan Politik Baru

Dengan kondisi semacam ini, bisa dikatakan bahwa hilangnya devisa dalam jumlah besar bisa berujung pada perubahan politik, terutama di Timur Tengah yang memasok sepertiga kebutuhan minyak global. Untuk menyeimbangkan neraca anggaran negara, Saudi dan Oman membutuhkan nilai jual minyak sebesar 87 dolar, UEA 70 dolar, dan Bahrain 95 dolar. Bahkan sebelum harga minyak jatuh, anggaran negara mereka sudah mengalami defisit.

Ada kemungkinan negara-negara kerajaan kecil Teluk Persia bisa mengatasi syok ini berkat cadangan saham besar. Namun untuk negara-negara berpopulasi padat, seperti Saudi dan Irak, permasalahan akan menjadi lebih berat.

Hingga 2014 lalu, Kerajaan Saudi praktis tak memiliki hutang negara. Namun setelah itu, harga minyak jatuh dari sekitar 100 dolar menjadi 50 dolar per barel, hingga devisa Riyadh berkurang separuhnya. Saudi pun terpaksa menambah pajak serta mengurangi subsidi dan hutang-hutangnya.

Dalam situasi ini, Saudi hanya bisa melunasi hutang-hutangnya jika harga minyak naik atau bisa memberikan variasi ekonomi. Namun ini juga tidak bisa terjadi dalam waktu singkat. Sebab itu, hutang-hutang dan pajak-pajak Saudi akan terus bertambah.

Reformasi, Pijakan Goyah Putra Mahkota Saudi

Kerajaan konservatif telah melakukan sejumlah reformasi di masa Muhammad bin Salman. Selain itu, dia juga mengarahkan Saudi ke sektor pariwisata nonreligi. Namun sumber devisa alternatif ini, yang relatif bisa memberikan laba dalam waktu singkat, tak bisa bertahan lama akibat pandemi Corona. Hal serupa juga akan dialami UEA sebagai tetangga Saudi, yang akhir-akhir ini sektor pariwisatanya memenuhi 12 persen dari devisa nasionalnya.

Bin Salman juga terus mengalami tekanan dari dalam negeri. Dengan langkah reformasinya, dia memusatkan segalanya pada rencana ekonomi. Hal ini lalu meminggirkan kalangan ulama konservatif, yang secara tradisional adalah salah satu pilar keluarga Kerajaan.

Di saat yang sama, kebijakan Bin Salman dalam membungkam para pengkritiknya menciptakan banyak musuh dari kalangan keluarganya sendiri. Berdasarkan laporan yang belum terkonfirmasi, Bin Salman pada Maret lalu telah menggagalkan upaya kudeta Istana.

Lemahnya Saudi dan UEA kemungkinan akan mendatangkan sejumlah konsekuensi bagi keseluruhan Timur Tengah. Dua kerajaan besar Teluk Persia ini telah memimpin sejumlah tindakan antirevolusi sejak Musim Semi Arab lalu.

Pada tahun 2013, Saudi dan UEA membiayai milyaran dolar untuk kudeta terhadap Presiden Mohammad Mursi di Mesir. Di Yordania, mereka mendukung keluarga Kerajaan dengan bantuan finansial. Riyadh dan Abu Dhabi juga melakukan intervensi militer di Bahrain. Saat ini, UEA juga memasok senjata kepada pasukan Khalifa Haftar yang telah mengepung Tripoli selama satu tahun terakhir.

Dengan berkurangnya devisa dari minyak, pertanyaannya adalah sampai kapan Saudi dan UEA bisa menanggung biaya petualangan-petualangan politik mereka?

Pelajaran yang Diambil Iran dari Embargo

Sementara di Yaman, kisahnya agak berbeda. Saudi dan UEA melakukan intervensi militer di negara itu demi membendung pengaruh Iran di Dunia Arab. Namun, seiring berjalannya perang yang tak kunjung membuahkan hasil, UEA pada musim panas lalu telah mengurangi jumlah pasukannya di Yaman dan kini mulai mendekati Iran. Baru-baru ini, Saudi juga mengumumkan gencatan senjata sepihak agar bisa segera terbebas dari perang mahal ini.

Menurut Weisflog, Iran memang menderita akibat pandemi Corona dan merosotnya harga minyak. Namun, tulis Weisflog, Iran telah mengambil pelajaran penting dari serangkaian embargo yang dijatuhkan atasnya.

“Teheran kini telah belajar untuk bertahan hidup dengan lebih sedikit minyak. Sepuluh tahun lalu, Iran memenuhi 60 persen anggarannya dari perdagangan minyak. Namun kini, Iran hanya menggantungkan 30 persen anggarannya dari sektor minyak”, tulis Weisflog.

Menurutnya, Iran juga menguasai seni Perang Asimetris. Dengan demikian, Iran sanggup mempertahankan aliansi militer yang relatif murah, namun efektif, dari mulai Lebanon, Suriah, Irak, hingga Yaman.

Tags:

Tinggalkan Komentar

Your email address will not be published. Required fields are marked *