Loading

Ketik untuk mencari

Profil

Syekh Yasin: Ulama Pejuang di Atas Kursi Roda yang Jadi Mimpi Buruk Zionis Israel

Syekh Yasin: Ulama Pejuang di Atas Kursi Roda yang Jadi Mimpi Buruk Zionis Israel

POROS PERLAWANAN – Syekh Ahmad Yasin lahir pada tahun 1936 di desa al-Jawrah, Palestina.  Ayah beliau adalah tokoh terhormat yang mewakili warga desa di kelompok-kelompok politik-sosial. Saat ayahnya meninggal dunia, Syekh Yasin masih berusia tak lebih dari tiga tahun. Meski demikian, ia tetap membantu semua kakaknya dalam mencari nafkah untuk keluarga dengan berjualan buah dan kue.

Saat menginjak usia sekolah, beliau mendaftar di sekolah dasar al-Jawrah. Semasa SD, beliau selalu menempati posisi lima besar di kelasnya.

Saat perang meletus tahun 1946, keluarga Syekh Yasin terpaksa pindah ke Gaza, yang berdekatan dengan al-Jawrah. Masing-masing saudara beliau bekerja dalam berbagai profesi.

Meski masih belia, Syekh Yasin bekerja di sebuah restoran. Enam bulan setelahnya, beliau meminta para kakaknya membangunkan restoran untuknya. Permintaannya dikabulkan dan Syekh bekerja selama beberapa bulan di restoran tersebut. Namun setelah beberapa lama, beliau memutuskan kembali ke bangku sekolah. Kakak beliau, Abu Nasim, lalu mendaftarkannya di sebuah SMP.

Usai menamatkan SMP, Syekh Yasin masuk ke SMA yang berjarak satu kilometer dari rumahnya. Di zaman itu, masalah penempatan para pengungsi menjadi topik hangat yang dibicarakan di mana-mana. Sekolah-sekolah SMA juga terlibat dalam masalah ini.

Ikhwanul Muslimin adalah salah satu kelompok paling aktif di Gaza saat itu. Banyak pelajar yang menjadi anggota kelompok tersebut.

Ikhwanul Muslimin membuat berbagai program pembinaan, kebudayaan, dan olahraga bagi para pemuda, sehingga menarik minat Syekh Yasin. Beliau lalu bergabung dan menghabiskan tahun-tahun pertama masa mudanya dalam aktivitas pemikiran dan politik. Syekh Yasin selalu pergi ke masjid Abu Khudhrah untuk menghadiri pertemuan-pertemuan Ikhwanul Muslimin.

Di masa mudanya, Syekh Yasin mengalami cedera saat berolahraga sehingga membuatnya cacat. Kendati demikian, kecacatan itu sama sekali tidak memengaruhi tekad baja beliau.

 

Syekh Yasin tetap melanjutkan studinya dengan penuh percaya diri. Lulus dari SMA pada tahun 1958 dan memutuskan untuk menjadi guru, beliau lalu mengajukan permohonan kepada Kepala Dinas Pendidikan.Mengingat kondisi tubuhnya, tampaknya sangat mustahil beliau diterima sebagai guru.Di antara para pemohon untuk mengajar bahasa Arab, Syekh Yasin adalah salah satu dari 10 kandidat terbaik. Kendati para anggota Komite mengetahui kompetensi Syekh Yasin, namun melihat kekurangan fisiknya, mereka menulis surat kepada Ketua Umum dan menyinggung hal tersebut. Namun, tak seperti yang diprediksi banyak orang, Ketua Umum sepakat untuk menerima Syekh Yasin. Dengan demikian, beliau lalu bekerja sebagai guru di SD al-Rimal.

Lantaran kecacatan tubuhnya, Syekh Yasin tidak terlalu menarik perhatian aparat keamanan Israel. Dengan demikian, beliau bisa memulai aktivitasnya di tengah para pemuda dengan tenang. Syekh Yasin membentuk majelis taklim Alquran di kamp pengungsi al-Shati di dekat masjid Shumali. Para hadirin di majelis tersebut duduk beralaskan pasir. Masjid Shumali adalah masjid yang beliau bangun bersama penduduk al-Shati dengan sangat sederhana.

Tentu aktivitas beliau tak hanya terbatas di sekolah dan masjid, melainkan juga hingga ke rumahnya. Para sejawat Syekh Yasin mengatakan, rumah beliau ibarat sarang lebah yang didatangi banyak orang untuk diambil madunya.

Dengan level keilmuan dan kemampuan pidatonya, Syekh Yasin menarik minat publik. Belakangan, selain masjid Shumali, beliau menjadikan masjid-masjid lain seperti Gharbi, al-Wahdah, dan al-Abyadh sebagai pangkalan lainnya.

Secara khusus, Syekh Yasin menjadikan olahraga sebagai salah satu sarana untuk mendakwahkan agama. Sebab itu, beliau membentuk sebuah klub kecil. Beliau membina para pemuda untuk mendakwahkan Islam, kemudian mengirim mereka ke masjid-masjid sekitar Gaza guna membina generasi muda lainnya.

Konfrontasi Pertama dengan Rezim Zionis

Saat timbul masalah keamanan di kamp pengungsi al-Shati, tentara Israel memblokade kamp tersebut selama satu bulan. Tentara Zionis memperlakukan penghuni kamp dengan sangat biadab, menyerang para pemuda, membuat mereka kelaparan, dan menghinakan mereka. Meski demikian, warga tidak melakukan apa pun dan hanya bisa menyesali nasib mereka. Hingga di suatu hari Jumat, Syekh Yasin naik ke mimbar masjid al-Abbas dan menyampaikan pidato berapi-api. Pidato beliau menggugah orang-orang dan memicu demonstrasi sebagai protes terhadap kebiadaban Zionis.

Demonstrasi itu pun segera membuahkan hasil. Sebelum demonstrasi menginjak hari ke-3, Rezim Zionis mengakhiri blokade demi menjaga ketenangan dan mencegah meluasnya protes. Namun, sebagai balasannya, Rezim memanggil Syekh Yasin dan memperingatkan beliau bahwa “lidahmu bisa menyengsarakanmu.” Namun beliau dengan tegas menjawab, ”Aku sendiri sudah mengetahuinya.”

Syekh Yasin memiliki karakteristik yang bisa membuat banyak orang mengelilinginya serta mampu meyakinkan mereka dengan ucapan dan tindakannya. Beliau selalu bersikap tenang dan penuh wibawa, serta tidak tergesa-gesa menanggapi masalah apa pun. Jika ada yang bertanya, beliau akan merenung sejenak, lalu menjawabnya dengan tenang. Tak ada orang yang mengenal beliau, kemudian tidak sepaham dengannya. Beliau adalah orang yang kesalehan dan ketakwaannya tidak diragukan siapa pun. Syekh Ahmad Yasin adalah figur teladan, penyabar, cerdas, dan visioner.

 

Jihad, Satu-satunya Cara Mengubah Kondisi Muslimin

Syekh Yasin meyakini jihad sebagai jalan tunggal untuk mengubah kondisi Arab dan Muslimin. Untuk menjalankan keputusannya, beliau menghadapi dua masalah: memulai operasi jihad dan menyiapkan fondasi keimanan yang diperlukan untuk jihad. Syekh Yasin melakukan dua hal tersebut sekaligus. Beliau membentuk komite yang terdiri dari 3 orang untuk menentukan cara-cara mendapatkan senjata dan menggunakannya. Mereka bertiga mengerahkan banyak upaya. Namun aparat keamanan Zionis tahu bahwa ada operasi yang akan dilancarkan. Mereka lalu menangkap sejumlah orang dan memperoleh banyak informasi. Di masa itu, Syekh Yasin, bersama lima orang lain, menjadi terdakwa.

Intifada Pertama dan Terbentuknya Hamas

Intifada (kebangkitan) rakyat yang muncul pada Desember 1987 adalah buah pemikiran Syekh Yasin. Dalam semua pertemuan, beliau mengatakan, ”Kita harus melanjutkan Intifada sampai Zionis meninggalkan Gaza dan Tepi Barat.” Keputusan untuk memulai Intifada berbarengan dengan pembentukan Harakah Muqawamah Islamiyah, yang disingkat “Hamas.”

Syekh Yasin dan Pemerintahan Palestina

Dalam sebuah wawancara, beliau mengatakan, ”Keberadaan dua pemerintahan di Palestina adalah mustahil. Satu-satunya solusi adalah sebuah pemerintahan Palestina yang dipimpin Muslimin; pemerintahan yang didirikan di semua tanah Palestina dan menghimpun warga Arab, Yahudi, dan Nasrani.”

Syekh Yasin meyakini, tak ada gunanya jika ada dua pemerintahan Islam dan Yahudi. Sebab, setelah beberapa lama, konflik yang lebih luas akan segera muncul. Baginya, solusi tunggal adalah kehidupan rukun dan damai di bawah satu pemerintahan.

Gugurnya Syekh Intifada

Syekh Ahmad Yasin, pemimpin spiritual rakyat Palestina dan pendiri Hamas, meraih syahadah pada hari Senin 22 Maret 2004. Beliau gugur saat keluar dari masjid oleh serangan udara helikopter Israel. Sembilan orang syahid dalam serangan itu, termasuk salah satu putra Syekh Yasin dan dua pengawalnya.

Menurut AFP, yang mengutip dari Radio Israel, operasi teror terhadap beliau diawasi langsung oleh Perdana Menteri Rezim Zionis saat itu, Ariel Sharon. Sebagian besar negara dan komunitas internasional, termasuk PBB, Uni Eropa, Liga Arab, Organisasi HAM Dunia, Vatikan, bahkan berbagai komunitas Yahudi, mengutuk Rezim Zionis atas teror tersebut.

[Sumber: Tasnim]

Tags:

Tinggalkan Komentar

Your email address will not be published. Required fields are marked *