Loading

Ketik untuk mencari

Analisa

Analisis Kekalahan Israel di Medan Perang dan Medan Diplomasi (Bagian Kedua)

Middle East Eye: Slogan Tel Aviv ‘Kehancuran Hamas’ Berubah Jadi ‘Kehancuran Israel’

POROS PERLAWANANKekalahan di Medan Diplomasi

Di awal (Bagian Pertama), kami telah meringkas semua aspek dalam 2 aspek: medan perang dan diplomasi. Jika semua sub cabang aspek kedua (diplomasi) diklasifikasikan, kita bisa membaginya dalam 2 pentas: pentas politik dan pentas opini publik.

Untuk menjelaskan bahwa Israel juga kalah dalam aspek kedua, pertama-tama kita harus melihat 2 tabel dari pentas politik:

Pertama, ketika dunia menyaksikan peristiwa 7 Oktober dan Israel masih pengar setelah pukulan yang diterimanya, Tel Aviv segera dibanjiri dukungan dari Barat, terutama beberapa negara kawan Rezim Zionis.

“Para pimpinan dunia mengutarakan dukungan mereka. Bendera Israel berkibar di atas pusat-pusat publik seluruh dunia,” kata Alen Feld, anggota Vintage Invesment Partners (yang memiliki investasi lebih dari 3 miliar Dolar). Yang dimaksud Feld adalah Presiden AS Joe Biden, PM Inggris Rishi Sunak, dan Kanselir Agung Jerman Olaf Scholz datang secara pribadi ke Tel Aviv untuk menunjukkan dukungan mereka.

Kedua, perang sudah berjalan selama 2 bulan. Hampir 20 ribu warga sipil telah dibantai (atau tepatnya: telah digenosida). Israel membunuh secara membabi buta sehingga kawan-kawannya pun bersuara. Para kawan Israel, termasuk AS, Jerman, dan Inggris, dengan bahasa diplomatis menyarankan: “Bberperang dan membunuhlah sedemikian rupa agar kami bisa tetap mendukungmu.”

Rumah sakit digempur, Tempat berkumpulnya para pengungsi juga dibombardir. Sekolah-sekolah dan kantor-kantor milik PBB, yang dijadikan tempat berlindung oleh warga sipil, juga tak luput dari agresi.

Para kawan Israel, seperti Biden dan selainnya dari Eropa, mulai mengkritik pedas Israel lantaran takut kepada opini publik domestik serta berbagai motif hukum dan politis. Pada saat ini, kita melihat merosotnya dukungan diplomatik untuk Israel.

Harian Israel, Calcalist, menulis,”Hari ini, Israel dipandang sebagai pembunuh warga sipil tak berdaya Gaza. Israel adalah pembantai orang-orang Palestina.”

Dari sisi lain, Sekjen PBB Antonio Guterres, yang di awal perang secara akurat menyatakan bahwa operasi Hamas pada 7 Oktober “tidak datang dari kekosongan”, untuk kali pertama sejak 2006 mengaktifkan Pasal 99 Piagam PBB untuk menghentikan perang di Gaza demi memperingatkan bahwa perdamaian dunia terancam. Ini adalah tindakan yang membuat gusar Israel.

Seperti yang ditunjukkan 2 tabel di atas, Israel juga jadi pecundang dalam pentas diplomasi.

Sangat jelas bahwa level solidaritas dunia untuk Israel di tingkat politik dan opini publik telah mulai berkurang secara mencolok. Indikator terbaik dalam kancah politik adalah susunan suara untuk draf resolusi terbaru, yang telah diveto AS di Dewan Keamanan demi keuntungan Israel.

Dalam draf yang diajukan Mesir dan Mauritania untuk menghentikan perang itu, (1) negara-negara menolak desakan AS untuk mencantumkan pasal pengecaman kepada Hamas, (2) 153 negara menyatakan setuju dan hanya 10 negara yang menolak. Dua suara itu adalah AS dan Israel sendiri. Sementara 8 negara lain yang menolak, atau dengan kata lain, menyetujui berlanjutnya perang, adalah negara-negara “mini” yang mungkin nama-namanya jarang didengar orang. Mereka adalah Nauru, Micronesia, Papua New Guinea, Liberia, Guatemala, Paraguay, Austria, dan Republik Ceko.

Hanya ada 2 negara Eropa dalam daftar pendukung Israel. Jika kita mengabaikan 3 negara mini, pada hakikatnya Israel hanya didukung oleh 5 negara saja. 5 lawan 153.

Bahkan negara-negara yang memilih abstain dalam draf sebelumnya pada 27 Oktober, kali ini memberikan suara setuju yang merugikan Israel. Mereka adalah Kanada, Jepang, Korsel, dan Australia. Dalam draf terbaru, negara-negara seperti Britania, Italia, Hungaria, Belanda, Lithuania, Slovakia, dan bahkan Jerman serta Ukraina, memilih abstain. Padahal andai kata Israel tidak berharap dari negara Eropa manapun, setidaknya ia bisa berharap dukungan seratus persen dari Jerman dan Ukraina.

Kendati upaya Dewan Keamanan ini tidak membuahkan hasil lantaran diveto AS, namun Majelis Umum PBB pada Selasa lalu telah mengesahkan resolusi tidak mengikat, dengan 153 suara setuju dan 10 suara abstain yang serupa. Mungkin resolusi itu sendiri tidak memiliki nilai operasional, tapi merupakan indikator bagus untuk menunjukkan betapa merosotnya level dukungan untuk Israel di pentas diplomatik saat ini.

Begitu pula halnya di tingkat opini publik. Demo-demo terus berlangsung di AS, Inggris, Italia, Jerman, Prancis, dan negara-negara lain. Tekanan-tekanan ini menyebabkan perubahan sikap pimpinan AS, Inggris, dan selain mereka. Sampai-sampai Biden pun, meski dengan motif kampanye atau selainnya, mengubah nada bicaranya di hadapan Israel. Menlu Britania juga memperingatkan agar Tel Aviv menangani para pemukim ekstremis, yang secara bersamaan mengancam keamanan Israel dan Palestina. Jika tidak, Otoritas Israel dalam masalah ini akan dilarang memasuki Britania.

Suara-suara yang menentang Israel di kalangan kawula muda, seperti universitas-universitas AS, medsos, dan dunia maya juga terus bertambah. Hal ini menyebabkan sejumlah Dekan beberapa universitas diinterogasi lantaran menyetujui protes anti-Israel.

Harian Calcalist bahkan mengakui bahwa “dalam 2 pekan terakhir, banyak aktivis Israel yang mencurahkan semua waktunya untuk menghadapi atmosfer anti-Israel di medsos-medsos dunia. Banyak orang yang bekerja dengan serius untuk menghadapi atmosfer ini. Namun semua ini tidak cukup di hadapan opini publik dunia.”

Apa yang jelas sekarang adalah kekalahan Israel di medan perang dan medan diplomatik hingga hari ke-70 perang; kekalahan yang kita tak butuh 70 hari untuk melihatnya, tapi sudah terjadi pada hari pertama, yaitu 7 Oktober. Kekalahan ini tak akan bisa ditebus bahkan dengan membunuh seluruh 2 juta manusia warga Gaza. (Vahid Samadi/Fars)

Tags:

Tinggalkan Komentar

Your email address will not be published. Required fields are marked *